Di sebuah sudut kecil kota yang ramai dan penuh hiruk-pikuk, ada seorang perempuan bernama Jumini. Usianya kini menginjak lima puluh, namun sorot matanya menyimpan bara semangat yang tak pernah padam. Enam jiwa yang bergantung padanya menjadi alasan terkuat baginya untuk terus berjalan meski langkah terasa berat.
Menjadi seorang perempuan berdaya dan mandiri, Jumini memutuskan untuk memulai sesuatu yang sederhana, yakni membuat siomay. Bukan sekadar siomay biasa, tetapi siomay binaan LAZ Al Azhar yang telah menjadi jembatan harapannya. Dari tangan yang tak kenal lelah itu, tiap potong siomay berisi doa dan harapan agar hidup keluarganya bisa berubah.
Satu setengah tahun bukan waktu yang singkat untuk berjuang. Dari pagi buta hingga malam menjelang, Jumini memproduksi hingga dua ribu siomay setiap hari. Tak jarang lelah mengoyak tubuhnya, tapi senyum kecil di wajah anak-anak menjadi obat penawar lelah yang tiada tara.
Mentor dan pembina dari LAZ Al Azhar, Lasto, bukan hanya mengajarkan teknik membuat siomay yang enak, tetapi juga menanamkan nilai kesabaran dan keikhlasan dalam setiap prosesnya. Dari situ, Jumini belajar bahwa usaha kecil pun bisa menjadi ladang keberkahan yang mengalir deras, asal dijalani dengan hati.
Siomay buatannya bukan sekadar makanan pengisi perut, melainkan simbol kerja keras dan keteguhan. Ia berharap, dari siomay sederhana itu, keluarganya bisa meraih kesejahteraan, dan kisahnya bisa menginspirasi banyak jiwa yang sedang berjuang.
Dengan lirih ia berterima kasih kepada LAZ Al Azhar yang telah membuka pintu kesempatan, memberikan napas baru pada hidupnya yang sempat tercekik kekhawatiran. Bagi Jumini, usaha kecil ini bukan hanya tentang uang, tapi tentang harapan yang tumbuh dan doa yang terus mengalir, di setiap lembaran kulit siomay yang ia gulung dengan penuh cinta.