Bayangkan hidup di tengah reruntuhan.
Langit gemuruh oleh dentuman.
Satu-satunya harapan hanyalah suara dari orang tercinta yang berkata:
“Aku masih hidup.”
Kini, bahkan harapan itu pun telah sirna.
Gaza telah dibungkam.
Bukan hanya dengan senjata, tapi juga dengan kesunyian.
Tak ada sinyal. Tak ada koneksi. Tak ada kabar.
Semua saluran komunikasi dihancurkan. Bukan karena tidak ingin berbicara,
tetapi karena tak ada lagi cara untuk berbicara.
Lebih dari 580 menara seluler dan jalur utama serat optik telah hancur.
74% infrastruktur telekomunikasi Gaza lenyap,
menurut Wakil Menteri Telekomunikasi Palestina, Huda al-Wahidi.
Ini adalah krisis komunikasi paling parah dalam sejarah Gaza.
Sebuah strategi senyap yang disengaja,
agar kejahatan perang berlangsung dalam diam.
Di tengah kehancuran total ini,
warga Gaza tidak hanya kehilangan rumah dan keluarga,
tetapi juga kehilangan suara, kehilangan hak untuk didengar.
Menara-menara yang selama ini menjadi penghubung harapan
telah runtuh, meninggalkan keheningan yang mematikan.
Baca Juga: dr. Marwan Al Sultan: Nama yang Kecil di Dunia, Besar di Gaza, Abadi di Surga
Jurnalis tak bisa mengabarkan.
Relawan tak bisa melaporkan.
Dunia tak bisa menyaksikan.
Dalam gelap dan sunyi, krisis kemanusiaan terus berlangsung.
Tanpa banyak yang tahu.
Tanpa banyak yang bisa berbuat.
Namun di balik isolasi ini,
warga Gaza tidak pernah berhenti mencari jalan
agar dunia mendengar jerit mereka.
Karena meski suara mereka dibungkam,
kebenaran tak bisa dimatikan.
Ini bukan hanya pemadaman komunikasi.
Ini adalah pemadaman nurani.
Apakah kita masih bisa diam?
Yuk! Zakat, infak, dan sedekah bersama LAZ Al Azhar. Hadirkan kebahagiaan dan kebermanfaatan yang lebih luas. Klik di sini.