Sejarah Pengelolaan Zakat pada Masa Nabi

Sejarah Pengelolaan Zakat pada Masa Nabi


Siti Adidah
14/12/2023

Salah satu misi Islam adalah untuk mengentaskan kemiskinan. Ajaran zakat dalam Islam adalah simbol kepedulian sosial terhadap kesenjangan ekonomi, perhatian atas fenomena kemiskinan, dan cita-cita akan kesejahteraan umat.

 

“Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (Q.S Al-Baqarah: 43).

 

Nabi Muhammad diutus oleh Allah dengan tujuan memperbaiki akhlak manusia yang ketika itu sudah mencapai ambang batas kerusakan. Kerusakan itu terutama disebabkan oleh golongan penguasa dan pemilik modal yang umumnya bersikap zalim dan sewenang-wenang. Orang kaya mengeksploitasi orang-orang lemah dengan berbagai cara, seperti sistem riba, penipuan, dan kejahatan ekonomi lainnya.

 

Pembinaan tatanan sosial yang baru dibangun oleh Nabi Muhammad setelah beliau berada di Madinah. Adapun selama di Mekah, bangunan keislaman hanya berfokus kepada bidang akidah dan akhlak. Baru pada periode Madinah, Nabi melakukan pembangunan pada segala bidang salah satunya bangunan Muamalat dengan konteksnya yang sangat luas dan menyeluruh.


Baca juga: Apa Benar Orang Miskin jadi Urutan Pertama Masuk Surga?

 

Peradaban Islam terbentuk berkat penaklukan bangsa Arab selama delapan tahun masa pertempuran. Nabi Muhammad berusaha meraih kekuasaan atas suku-suku dalam rangka menundukkan Mekah. Sejumlah utusan dan duta dikirim ke seluruh penjuru Arabia. Sementara suku-suku bangkit untuk menyampaikan kesetiaan, membayar zakat dan pajak, sebagai simbol keanggotaan dalam komunitas Muslim dan simbol menerima Nabi Muhammad sebagai Nabi dan utusan Allah Swt.


Pembayaran zakat dalam Islam mulai efektif dilaksanakan setelah hijrah dan terbentuknya pemerintahan di Madinah. Orang-orang beriman dianjurkan untuk membayar sejumlah harta tertentu. Zakat dikenakan atas harta kekayaan berupa emas, perak, barang dagangan, binatang ternak tertentu, barang tambang, harta karun, dan hasil panen.

 

Periode awal Islam, pengumpulan dan pengelolaan awal zakat dilakukan secara terpusat dan ditangani sepenuhnya oleh negara lewat Baitul Maal. Nabi Muhammad sebagai pemimpin negara telah mengutus lebih dari 25 sahabat menjadi amil zakat ke seluruh pelosok negara dengan memberi perintah pengumpulan sekaligus pendistribusian zakat sampai habis sebelum kembali ke kota Madinah, di antaranya Umar Ibn al-Khattab, Ibnu Qais ‘Ubadah Ibn Samit dan Mu’adz ibn Jabal, Ibnu Sa’di, Abu Mas’ud, Abu Jahm bin Huzaifah, Wahid bin ‘Ubah, Ibnu Lutbiah, Muhajir bin Umayyah, Uyayinah bin Hisn, Buraidah bin Hasib, Amr bin Ash, Ka’ab bin Malik, Abbad bin Bisyr, Rafi’ bin Makis, Dhahhak bin Sofyan, Zubraqan bin Nadr, dan masih banyak nama-nama lain yang diutus Nabi Muhammad sebagai amil zakat kala itu.


Baca juga: Tiga Hal yang Dapat Mengubah Hidup Kamu Menjadi Lebih Baik!

 

Pada pembagian struktur amil zakat terdiri dari, Katabah (petugas yang mencatat para wajib zakat), Hasabah (petugas yang menaksir atau menghitung zakat), Jubah (petugas yang menarik atau mengambil zakat dari para muzaki), Khazanah (petugas yang menghimpun dan memelihara harta), dan Qasamah (petugas yang menyalurkan zakat pada orang yang berhak menerima zakat).

 

Pada praktiknya, Nabi tidak membagi rata hasil zakat yang terkumpul kepada delapan kelompok tersebut. Nabi membagi sesuai kebutuhan. Maka konsekuensinya, ada salah satu kelompok yang tidak memperoleh zakat karena persediaan zakat dialokasikan kepada kelompok lain yang lebih membutuhkan. Dengan demikian, sistem distribusi zakat pada masa Rasulullah, diatur secara proporsional dan kondisional disesuaikan dengan tingkat kebutuhan mustahik zakat.

BACA JUGA