Kisah inspiratif ini lahir dari seorang sahabat Nabi yang bernama Sya’ban. Namanya tidak begitu menonjol seperti sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan lainnya. Sya’ban adalah sahabat Nabi yang unik. Semasa hidupnya, ia selalu datang ke masjid sebelum salat fardu dan selalu mengambil posisi pojok masjid untuk iktikaf. Kebiasaannya itu sudah diketahui oleh Rasulullah dan para jamaah. Alasannya agar tidak mengganggu jamaah lainnya yang ingin beribadah.
Suatu hari, Sya’ban tidak ada di masjid untuk melaksanakan salat subuh. Rasulullah mencari-cari dan bertanya-tanya, ”Kemana Sya’ban?” tetapi tidak ada seorang pun yang tahu kemana dan kenapa Sya’ban tidak ada di masjid untuk melaksanakan salat subuh seperti biasa. Karena ingin menunggu Sya’ban, Rasul pun menunda salat subuhnya sebentar. Akan tetapi Sya’ban tetap tidak hadir. Akhirnya Rasulullah mulai melaksanakan salat jamaah subuh karena khawatir jika terlalu lama menunggu, salat subuh berjamaah akan terlaksana terlalu siang.
Seusai menyelesaikan salat berjamaah, karena khawatir takut terjadi apa-apa kepada Sya’ban, Rasulullah hendak pergi ke rumahnya. Rasulullah bertanya kepada para sahabat yang hadir di masjid tersebut, ”Adakah yang tahu di mana rumah Sya’ban?” Salah satu sahabat mengetahui di mana persisnya rumah Sya’ban. Akhirnya Rasulullah dan para rombongan bergegas ke rumah Sya’ban.
Lokasi dari masjid ke rumah Sya’ban ternyata cukup jauh. Sesampainya di sana, Rasulullah mengetuk pintu rumah itu dan keluarlah seorang wanita. Rasul bertanya, ”Benarkah ini rumah Sya’ban?”
”Iya, benar. Saya istrinya.”
Baca juga: Kisah Sahabat Nabi yang Ingin Miskin tapi Selalu Gagal
”Bisakah kami bertemu Sya’ban? Tadi pagi ia tidak hadir pada saat salat jamaah subuh.”
Wanita itu kemudian terlihat sangat bersedih. Sambil meneteskan air mata, ia menjawab pertanyaan Rasulullah, ”Mohon maaf ya Rasulullah, ia sudah meninggal tadi pagi, tepat sebelum azan subuh.” ”Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un.” Semuanya terkaget setelah mendengar kabar bahwa Sya’ban telah wafat.
Selang beberapa menit, sang istri mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada engkau.” Rasulullah pun menjawab, “Silakan apa yang hendak ingin kau tanyakan?”
”Sebelum ia meninggal, ia berteriak tiga kali dengan kalimat yang berbeda. Dalam masing-masing teriakan ia berkata ‘Aduh, mengapa tidak lebih jauh? Aduh, mengapa tidak yang baru? Aduh, mengapa tidak semuanya?’”
Rasulullah kemudian menjelaskan secara rinci. Bahwa ketika sakaratul maut, seluruh amal perbuatan ditayangkan ulang oleh Allah dan tidak ada yang bisa melihat hal tersebut kecuali Sya’ban. Teriakan pertama, ”Aduh, mengapa tidak lebih jauh?”
Dalam penayangan itu, Sya’ban menyaksikan suatu amal yang biasa ia lakukan, yaitu perjalanan ke masjid untuk melaksanakan salat jamaah. Dari penayangan itu, Sya’ban diperlihatkan ganjaran yang ia peroleh di setiap langkah kakinya. Saat berteriak, timbul penyesalan dalam dirinya. Andai saja rumahnya dengan masjid bisa lebih jauh lagi, tentu pahala yang ia dapatkan akan lebih berlipatganda.
Teriakan kedua, ”Aduh, mengapa tidak yang baru?”
Pada saat penayangan ini, Sya’ban diperlihatkan momen ketika hendak ke masjid yang pada saat itu musim dingin. Angin tersebut menghembuskan hawa dingin sampai menusuk hingga tulang. Akhirnya Sya’ban kembali ke rumah untuk mengambil outer. Ia sengaja mengenakan baju baru di dalam dan mengenakan baju jelek di luar karena agar ketika terkena korotan di jalan, baju barunya masih bersih dan masih bisa dipakai untuk salat jamaah.
Baca juga: Sahabat-Sahabat Nabi Siapa Saja yang Pernah Menjadi Amil Zakat?
Di perjalanan ia menemukan seseorang yang kedinginan. Kemudian ia berikan baju kepada orang tersebut dan menuntunnya ke masjid. Orang itu selamat dari kedinginan dan bisa melaksanakan salat berjamaah. Dalam hal ini, Allah memperlihatkan ganjaran untuk Sya’ban yang telah memakaikan baju jelek kepada orang tersebut. Dan kembali timbullah rasa penyesalan dalam diri Sya’ban. Andai ia memakaikan baju barunya kepada orang tersebut, tentulah pahalanya akan lebih besar.
Teriakan ketiga, ”Aduh, mengapa tidak semua?”
Ketika itu, Sya’ban hendak sarapan dengan sebuah roti dan susu. Roti itu dicelupkan ke dalam susu hangat sebelum dimakan. Pada waktu yang bersamaan, sebelum menyantap sarapan itu, datanglah seorang pengemis yang menghampiri rumahnya untuk meminta makan. Pengemis itu mengaku bahwa sudah tiga hari belum makan. Rasa iba Sya’ban kemudian membuatnya memberikan sepotong rotinya kepada pengemis sekaligus membagi susu hangatnya ke dalam dua gelas yang sama banyak.
Allah pun memperlihatkan pahala yang ia terima ketika telah memberikan sebagian dari roti dan susunya. Hadir rasa penyesalan dalam diri Sya’ban. Pasalnya, andaikan ia memberikan semuanya, maka pahalanya jauh lebih besar lagi.
Apa yang dapat kita ambil dari kisah ini, Sahabat? Salah satunya yaitu kemuliaan hati, kedermawanan, keikhlasan dalam bersedekah, berlomba-lomba pada kebaikan, dan bersedekahlah dengan yang baik.