Beberapa waktu lalu, saya mendapat tugas kunjungan ke daerah Bogor. Siang itu, matahari sedang terik-teriknya. Setelah menunaikan salat Zuhur, saya duduk sejenak di ruang masjid yang sejuk sekadar menenangkan diri dari panas dan keramaian.
Saat keluar dari masjid, saya melihat seorang pedagang cilok melintas. Perut pun terasa lapar. Tanpa pikir panjang, saya beli cilok itu untuk mengganjal perut. Di dekat saya, ada tiga anak perempuan yang sedang bermaian sambil tertawa-tawa. Entah mengapa, ada dorongan spontan untuk menawarkan jajanan itu kepada mereka. Bukan karena saya merasa hebat atau ingin dipuji, tapi karena hati saya terasa hangat melihat keceriaan mereka. Saya hanya ingin berbagi sedikit kebahagiaan. Tidak ada maksud lain.
Saya pikir, itu akan menjad momen kecil yang segera terlupakan. Tapi ternyata, hari ini… mereka membuatnya menjadi momen besar yang akan terus saya kenang.
Hari ini, saat saya kembali bertugas di tempat yang sama, tiga anak itu muncul di hadapan saya. Mereka membawa sebuah kotak kecil hadiah yang katanya mereka beli sendiri. Bungkusnya sederhana, tapi yang mengejutkan adalah isinya, ketulusan hati yang tak bisa dibeli.
Saya terdiam. Lalu saya bertanya,
“Kalian beli ini pakai apa?”
Dengan polos mereka menjawab, ”Kita kumpulin dari uang jajan terus patungan, supaya bisa beliin hadiah ini buat Om.”
Saya kembali bertanya,
“Kenapa kalian beliin hadiah buat Om?”
Dan jawaban mereka membuat hati saya nyaris meleleh,
“Kan waktu itu Om beliin kita jajanan, yaudah, kita udah niat kalau Om datang lagi, kita mau kasih surprise buat Om dari kita bertiga.”
Salah satu dari mereka menunduk sebentar, lalu berkata pelan, “Maaf ya Om… aku ngasihnya sederhana.”
Kalimat itu terdengar kecil, tapi rasanya begitu besar di hati saya. Tidak ada yang sederhana dari ketulusan seperti itu. Hadiah itu lebih dari cukup karena di dalamnya ada perhatian, usaha, dan cinta yang mereka kumpulkan diam-diam.
Saya tak tahu harus berkata apa. Kotak kecil itu terasa jauh lebih besar dari apa pun yang bisa saya terima hari ini. Dalam dunia yang seringkali banyak rintangan, terasa keras dan individualistis, tiga anak kecil ini mengingatkan saya bahwa kebaikan itu tak butuh banyak, tak harus besar, cukup dengan hati yang tulus, bahkan dari tangan-tangan kecil yang masih belajar menyisihkan uang jajannya.
Hari ini, saya diingatkan kembali bahwa kebaikan, jika dilakukan dengan tulus, selalu menemukan jalannya untuk kembali. Bahwa ketulusan tidak bergantung pada usia, status, atau keadaan. Dan bahwa kebahagiaan tidak selalu tentang hal besar, tapi tentang perasaan hangat yang menyentuh hati seperti yang saya rasakan hari ini.
Dari mereka juga saya belajar bahwa kebaikan tak harus besar, tak harus menunggu waktu lapang, dan tak harus datang dari orang yang berlebih. Bahkan dalam kesederhanaan, kebaikan tetap bisa dibagikan asal dilakukan dengan ikhlas.
Bukan karena nilainya, tapi karena niatnya. Mereka tak punya banyak, tapi mereka tetap ingin memberi. Tidak untuk balas jasa, tapi murni karena ingin membalas kebaikan dengan kebaikan. Senyum mereka tulus, tanpa pamrih. Dan hadiah itu... menyentuh hati saya lebih dalam dari yang bisa saya ungkapkan dengan kata-kata.
Kisah ini sederhana, tapi saya ingin membagikannya. Karena saya percaya, dunia butuh lebih banyak kebaikan seperti ini. Kebaikan yang datang dari siapa saja, untuk siapa saja. Tanpa pamrih,tanpa kalkulasi. Terima kasih, Asya, Felisia, dan Cila. Kalian bukan hanya memberi hadiah, tapi juga pelajaran hidup bahwa Kebaikan itu milik semua, dari siapa saja, untuk siapa saja. -Sigit Nugroho