Ketika Harapan Tumbuh dari Tanah Sekepal

Ketika Harapan Tumbuh dari Tanah Sekepal


Eliyah
18/07/2025
14 VIEWS
SHARE

Di ujung sebuah rumah sederhana, seorang lelaki bangkit lebih awal dari kokok ayam, namanya Dede Wahyudi (43). Ia adalah buruh tani, Ayah, dan suami. Dan di satu titik dalam hidupnya, ia adalah lelaki yang nyaris kalah oleh keadaan.

Hidup tak selalu memberinya pilihan. Upahnya sebagai buruh tani tak pernah bisa ditebak: kadang cukup untuk membeli beras, kadang hanya cukup untuk membeli diam. Di wajahnya yang legam oleh matahari, tersimpan lelah yang lama tak diakui. Ia ingin lebih dari sekadar bertahan. Tapi bagaimana caranya? Dunia tak pernah benar-benar mengajari mereka yang lahir tanpa peta dan kompas.

Namun, perubahan sering datang tanpa suara. Ia tidak membawa guntur atau peluru. Ia datang dalam bentuk kehadiran yang peduli, dalam bentuk pendampingan, bimbingan, dan keyakinan kecil yang ditanam perlahan. Di bawah sayap Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Haurngombong Gemilang, melalui tangan-tangan sabar LAZ Al Azhar, Dede mengenal cara baru untuk melihat hidup. Bukan lagi sebagai padang tandus yang harus ditaklukkan, melainkan sebagai tanah subur yang bisa ditanami harapan.

Satu program sederhana, bernama Dapur Hidup, mengubah cara pandangnya. Dari pekarangan rumah yang dulu gersang, ia dan istrinya, Maryati, menanam kembali mimpi yang lama terkubur. Cabai, tomat, kangkung, bayam, dan daun bawang tumbuh berdampingan seperti menunjukkan harapan baru dalam hidup.

Tak hanya memanen sayur, Dede memanen keyakinan: bahwa hidup bisa digerakkan dari rumah, dari niat, dari tanah sekepal di bawah kaki.

Yang mereka lakukan bukan hanya menanam, tapi juga membebaskan diri dari ketergantungan, dari ketakutan, dari kekurangan yang selama ini membelenggu. Maryati menyulap bahan organik yang ada disekitar rumah menjadi pupuk dan pestisida nabati. Sistem budidaya sayuran yang diterapkan adalah dengan sistem organik. Tercukupinya kebutuhan dapur dari pekarangan membuat Maryati mampu menurunkan angka belanja sehingga uangnya bisa ditabung untuk kebutuhan di masa yang akan datang.

Pun dengan sang suami, Dede. Ia tak hanya merawat kebun, tapi juga merawat jiwanya. Ia kini rutin datang ke Saung Ilmu, mengikuti pengajian, mendengar, menyimak, dan kadang mengajarkan. Ia yang dulu diam, kini sanggup berbagi.

Bagi Dede Wahyudi, ketahanan pangan bukan sekadar memastikan perut tidak lapar. Tapi tentang bagaimana sebuah keluarga bisa berdiri tegak dengan martabatnya sendiri, tentang bagaimana sepetak tanah bisa menumbuhkan harga diri, dan bagaimana iman bisa tumbuh seiring daun yang mekar setiap pagi.

Dan pagi itu, di halaman rumahnya, di antara rerumputan dan kebun kecilnya, Dede memandang langit. Bukan lagi dengan mata yang menantang, tapi dengan syukur yang hening. Karena hidup, sejatinya, adalah tentang menanam, apa pun musimnya.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA