Sungguh ironis, di tengah negosiasi gencatan senjata, Israel justru terus melancarkan serangan brutal terhadap warga sipil Palestina. Kekejaman demi kekejaman dilakukan secara membabi buta, meluluhlantakkan harapan, kehidupan, dan masa depan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, populasi Jalur Gaza mengalami penurunan drastis. Bukan karena migrasi sukarela, melainkan karena kematian massal dan eksodus paksa.
Sejak agresi militer Israel yang dimulai pada Oktober 2023, Jalur Gaza telah menghadapi krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Serangan udara dan darat yang intens telah menewaskan puluhan ribu warga sipil, menghancurkan infrastruktur vital, dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi ke wilayah yang semakin sempit dan tidak aman.
Data awal dari lembaga kemanusiaan dan badan statistik Palestina menunjukkan tren penurunan populasi yang signifikan. Sebuah fenomena langka di kawasan dengan tingkat kelahiran tinggi seperti Gaza. Namun angka ini tidak mencerminkan perbaikan sosial atau ekonomi, ia adalah cermin dari kehancuran sistematis yang dialami oleh sebuah wilayah yang selama ini terkurung oleh blokade dan dikepung oleh konflik.
Baca Juga: Uang Rusak, Hidup Tercekik: Gaza dan Neraka Finansial yang Terlupakan
Di balik statistik dan laporan resmi, tersembunyi realitas pahit yaitu anak-anak yang tidak pernah sempat tumbuh dewasa, keluarga yang tercerai-berai, dan generasi yang hilang bahkan sebelum sempat menulis sejarahnya sendiri. Israel terus-menerus menghujani anak-anak Palestina dengan rudal-rudal yang mematikan, mereka membombardir berbagai tempat seperti sekolah, rumah, kamp pengungsi bahkan rumah sakit tempat para korban di rawat pun tidak lepas dari target mereka.
Kejadian di Sekolah Abu Asi, di Kamp Al-Shati, Jalur Gaza, dan yang lebih menyayat hati ketika penjajah membunuh janin yang tak berdaya. Mereka memisahkan kepalanya dari tubuhnya, kejadian itu membuat tiga orang syahid seketika. Hati siapa yang tidak pilu, kita yang hanya mendapatkan laporannya saja ikut merasakan sakitnya bagaimana mereka yang setiap hari menyaksikan darah dan tubuh manusia yang tergeletak di mana-mana.
Juru bicara UNICEF pada (11/7/2025) melaporkan bahwa jumlah rata-rata anak yang terbunuh akibat serangan Israel dalam satu hari di Gaza sekitar 27 anak.
Baca Juga: Tepung 3.000 Kali Lebih Mahal, Gaza Kelaparan Masihkah Kita Diam?
Di sisi lain, sebuah laporan dari Kementrian Kesehatan Gaza pada (14/7/2025) mencatat: jumlah korban syahid akibat agresi Israel telah meningkat menjadi 58.026 korban dan 138.520 korban luka sejak 7 Oktober 2023. Sejumlah korban lainnya masih tertimbun reruntuhan dan di jalanan, karena ambulans dan tim pertahanan sipil belum dapat menjangkau para korban.
Kita tak bisa membiarkan dunia terbiasa pada penderitaan yang berulang. Anak-anak Gaza bukan sekadar statistik, mereka punya wajah, nama, cerita, dan keluarga yang mencintai mereka. Mereka juga tidak sedang memegang senjata yang dapat mengancam nyawa, tapi justru mendapatkan perlakukan keji dan semena-mena.
Semoga suara-suara yang telah dibungkam, tangisan yang tak lagi terdengar, menjadi gema yang menggugah nurani dunia. Agar keadilan tidak hanya menjadi harapan, tapi kenyataan yang terus diperjuangkan.
Yuk! Zakat, infak, dan sedekah bersama LAZ Al Azhar. Hadirkan kebahagiaan dan kebermanfaatan yang lebih luas. Klik di sini.