Di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, Deir al-Balah, Gaza Tengah, seorang anak perempuan berusia empat tahun, Razan Abu Zaher, menghembuskan napas terakhirnya. Bukan karena bom, tapi karena kelaparan. Tubuh kecilnya tak mampu lagi bertahan di tengah blokade brutal, kelangkaan makanan, dan runtuhnya sistem kesehatan.
Razan Abu Zaher, meninggal dunia pada hari Minggu karena komplikasi yang timbul akibat kekurangan gizi akut dan atrofi otak (penyusutan otak). Sebelumnya keluarga Razan sudah memohon agar anaknya diizinkan keluar Gaza untuk mendapatkan pengobatan sebelum terlambat. Namun hal itu sulit tercapai, sebab blokade yang dilakukan oleh Israel semakin ketat. Sejak awal Juli 2025, paling tidak empat anak, termasuk Razan, meninggal dalam 48 jam terakhir akibat malnutrisi.
Menurut petugas medis, diperkirakan 17.000 anak di Gaza menderita malnutrisi akut. Banyak yang tiba di rumah sakit dengan gejala-gejala seperti pingsan, kehilangan ingatan, dan kelelahan parah akibat langsung dari kelaparan berkepanjangan.
Baca Juga: Darah dan Air Mata di Gaza: Anak-anak yang Dilupakan Dunia
Blokade yang dilakukan entitas zionis Israel mengakibatkan seluruh masyarakat Palestina termasuk anak-anak dilanda bencana kelaparan dan kekurangan gizi. Situasi ini digambarkan sebagai “pembantaian diam-diam” sebagaimana pernyataan dari Kementerian Kesehatan Gaza.
Protes juga dilakukan oleh organisasi di bawah PBB UNRWA, dalam pernyataanya UNRWA menyerukan pencabutan total blokade yang dilakukan Israel sejak 2 Maret 2024:
“Cabut blokade: izinkan UNRWA membawa makanan dan obat-obatan. Otoritas Israel membuat warga sipil Gaza kelaparan, dan di antara mereka terdapat satu juta anak-anak.” tulis UNRWA dalam sebuah pernyataan.
Selain itu, kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), menyatakan bahwa membuat warga sipil kelaparan merupakan kejahatan perang dan tidak boleh digunakan sebagai senjata.
Baca Juga: Populasi Gaza Menurun, Bukan karena Migrasi, Tapi Genosida
Razan Abu Zaher pergi di usia yang seharusnya penuh tawa, bukan derita. Ia bukan hanya korban perang, tapi juga korban dunia yang memilih diam. Semoga kisahnya menggugah nurani kita bahwa setiap anak berhak hidup, dan tak satu pun layak mati karena kelaparan.
Dalam situasi ini diam bukanlah sikap yang netral, tapi sebagai bentuk keberpihakan pada penindasan. Ketika kemanusiaan dipertaruhkan, tidak ada ruang untuk kebisuan. Kita punya pilihan: menyuarakan, bertindak, dan mendesak perubahan, atau menjadi bagian dari masalah dengan membiarkannya terus terjadi.
Yuk! Zakat, infak, dan sedekah bersama LAZ Al Azhar. Hadirkan kebahagiaan dan kebermanfaatan yang lebih luas. Klik di sini.