Dikenal dengan nama Buya Hamka, orang yang mempunyai nama lengkap Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah merupakan seorang ulama, budayawan, dan sastrawan Indonesia. Semasa hidupnya Buya Hamka banyak berperan penting bagi bangsa.
Dikutip dari berbagai sumber, berikut biografi lengkap Buya Hamka.
Profil
Buya Hamka lahir di Agam, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908 dari pasangan Haji Abdul Karim Amrullah yang dikenal sebagai ‘Haji Rasul’ dan Siti Shafiah.
Semasa kecilnya, Buya Hamka tumbuh dengan didikan agama Islam, karena ayahnya Haji Rasul merupakan seorang tokoh gelombang pembaharu gelombang Islam di Minangkabau. Sedangkan ibunya memiliki latar belakang sebagai seniman.
Pada usia 6 tahun ayahnya mengajak Buya Hamka untuk pindah ke Padang Panjang, dan di usia 7 tahun ayahnya memasukkannya ke sekolah desa. Di sekolah desa Buya Hamka lebih sering belajar secara otodidak.
Memasuki usia 10 tahun, Haji Rasul mendirikan Sumatera Thawalib. Di tempat inilah Buya Hamka banyak mendapatkan pembelajaran agama dan bahasa Arab secara langsung dari ayahnya.
Selama mengenyam pendidikan di Padang Panjang, Buya Hamka belajar kepada banyak guru diantaranya Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, Sutan Marajo, dan Zainuddin Labay el-Yunusy.
Selain bersekolah di Sumatera Thawalib, ia juga mendalami sekolah diniyah di Parabek. Berbeda dengan sekolah ayahnya yang masih menggunakan metode klasik, di sekolah diniyah inilah Buya Hamka diperkenalkan dengan sistem pendidikan modern berbasis kurikulum.
Menginjak remaja, Buya Hamka memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta di usia 16 tahun untuk menambah cakrawala keilmuannya. Di Yogyakarta, ia tinggal bersama adik ayahnya Ja’far Amrullah dan diperkenalkan dengan organisasi Sarekat Islam (SI). Selama di Yogyakarta, Hamka berkenalan dan belajar dengan pergerakan Islam modern kepada H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Soerjopranoto, dan H. Fakhruddin. Mereka semua mengadakan kursus penggerakan di Gendong Abdi Dharmo di Pakualaman. Dari mereka, Hamka mengenal perbandingan antara Politik Islam, yakni Syarikat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah.
Baa juga: Amalan di 10 Hari Terakhir Ramadan
Setelah beberapa waktu, Hamka beranjak menuju Pekalongan menemui suami kakaknya, AR. Sutan Mansur yang menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Disanalah Hamka berkenalan dengan Citrosuarno, Mas Ranuwihardjo, Mas Usman Pujotomo, dan mendengar tentang kiprah seorang pemuda bernama Muhammad Roem.
Merasa sudah cukup dengan keilmuan yang dimiliki, Hamka kembali ke Padang Panjang pada Juli 1925 untuk mengurus Persyarikatan Muhammadiyah. Namun karena belum memiliki gelar diploma, pada Februari 1927 ia kembali melanjutkan pendidikan bahasa Arab dan pengkajian Islam di Mekkah selama 7 bulan. Selama berada di Mekkah, Hamka mendapatkan saran dari H. Agus Salim untuk berkarir sebagai penulis.
Karir
Sepulangnya dari Mekkah, Hamka aktif menulis cerita maupun artikel di Majalah Pelita Andalas, Medan, Sumatera Utara. Pada 5 April 1929, Hamka menikah dengan Siti Raham. Kemudian ia berkecimpung di Muhammadiyah dan menjadi Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Padang Panjang.
Karirnya semakin naik dan meluas tatkala dirinya menjadi Ketua Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar, dan pada tahun 1975, Hamka terpilih menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dan menjabat selama 5 tahun.
Karya Sastra
Saat bekerja di majalah, Hamka berhasil merilis karya pertamanya berjudul Chatibul Ummah yang berisi kumpulan pidato yang ia dengar di Masjid Jembatan Besi. Kemudian ia merilis Tafsir Al Azhar juz 1-30 yang berisi ceramah atau kuliah subuh yang pernah disampaikan olehnya di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran.
Hamka juga membuat karya novel berjudul ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ yang menceritakan tentang pola pikir kehidupan berkasta yang menjadi adat dan tradisi di tanah minang. Selain itu ia juga merilis novel bertajuk ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ yang mengisahkan terhalangnya hubungan sepasang kekasih hingga akhir hayat karena perbedaan adat dan latar belakang sosial.
Penghargaan
Kiprah Buya Hamka di berbagai bidang membuat ketokohannya dikenal banyak orang berkat kontribusi pemikirannya yang membawa pengaruh baik di masyarakat. Bahkan, Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak mengatakan bahwa Buya Hamka bukan hanya milik Indonesia, melainkan milik bangsa Asia Tenggara.
Buya Hamka menghembuskan nafas terakhirnya pada 24 Juli 1981. Setelah disalatkan di Masjid Agung Al Azhar, jenazahnya dikebumikan di TPU Tanah Kusir dan mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Untuk mengenang jasanya, namanya diabadikan menjadi sebuah perguruan tinggi milik Muhammadiyah bernama Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) di Jakarta. Selain itu tak lama lagi juga akan segera dirilis film berjudul ‘Buya Hamka’ yang akan ditayangkan pada 20 April 2023 di bioskop sebagai serial film lebaran.