The Beauty of Philanthropy, Ketika Mimpi Anak Bangsa Bertemu Peluang

The Beauty of Philanthropy, Ketika Mimpi Anak Bangsa Bertemu Peluang


Sigit Nugroho
07/08/2025
33 VIEWS
SHARE

Jakarta, (7/8) Pagi ini, di Backyard Hotel Borobudur Jakarta, sesi Showcase dalam gelaran FIFest 2025 mengajak hadirin menyelami kisah-kisah yang bukan hanya menyentuh hati, tapi juga menggerakkan langkah. Bertajuk “The Beauty of Philanthropy: Reaching the Dreams of Indonesia’s Youth,” sesi ini menjadi panggung bagi harapan, perjuangan, dan kekuatan gotong royong dalam membuka jalan pendidikan anak-anak bangsa.

Dibuka dengan semangat oleh Suci Hendrina, Head of CSR Paragon, sesi ini menggaris bawahi filosofi dari program beasiswa ParaDreams bukan sekadar soal bantuan dana pendidikan, tapi juga pendampingan, dukungan moral, dan keyakinan bahwa setiap anak Indonesia berhak bermimpi tinggi dan mewujudkannya.

”Program beasiswa bukan hanya memberi biaya dan pendampingan, tapi kita juga ingin tumbuh bersama bukan hanya para pelajar, tapi juga para pengajar. Kita ingin mendukung generasi muda untuk benar-benar merdeka dan mampu membangun negeri ini dengan mimpi-mimpinya,” tutur Suci.

Dan benar saja, mimpi itu nyata ketika didengar langsung dari dua sosok muda inspiratif,  Devit Febriansyah dan Made Dea Vio Lantini, dua penerima beasiswa ParaDreams yang kini mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Devit, putra dari keluarga sederhana di mana sang ayah hanya  bekerja sebagai buruh angkut kayu dan ibunya sebagai ibu rumah tangga, bercerita bagaimana semangatnya menuntut ilmu didorong oleh cinta dan dukungan warga kampungnya. Ketika diterima di ITB jurusan Teknik Elektro, masyarakat berinisiatif mengumpulkan ongkos agar ia bisa berangkat ke Bandung. Bahkan Rektor ITB datang langsung ke rumahnya, memberi semangat dan restu.

“Saya ingin mengubah keadaan, agar masa depan keluarga saya lebih baik lewat pendidikan,” ujar Devit, lirih namun penuh tekad.

Sementara itu, Dea, anak nelayan kecil dari pesisir, dulunya menganggap kuliah di ITB itu sebagai mimpi yang terlalu tinggi. Tapi tekad dan pengorbanan orang tuanya menjadi bahan bakar untuk terus maju. Kini, tak hanya berhasil menembus ITB, Dea juga menjadi Duta Anak di Komisi Perlindungan Anak Indonesia, fokus pada isu-isu anak berkebutuhan khusus. Mimpinya tak lagi sebatas untuk diri sendiri, tapi untuk komunitas yang lebih luas.

“Kalau mau meraih capaian besar, maka usahanya juga harus maksimal,” ucap Dea, penuh semangat.

Moderator sesi ini, Lia Umro Safitri dari LAZ Al Azhar, menegaskan pentingnya menciptakan lebih banyak ruang-ruang seperti ini tempat mimpi-mimpi muda Indonesia bisa bertumbuh dan dibesarkan bersama.

Kisah-kisah seperti Devit dan Dea bukan hanya menghangatkan hati, tapi juga mengingatkan kita bahwa Masalah pada negeri ini bukan pada kurangnya bakat, tapi pada sistem yang belum cukup memberi ruang. Kita tak kekurangan anak hebat, kita kekurangan akses untuk membuat mereka hebat. Inilah semangat yang juga diusung oleh LAZ Al Azhar melalui program beasiswa dan pelatihan keterampilan produktif Rumah Gemilang Indonesia (RGI).

RGI hadir untuk mereka yang mungkin tak punya cukup biaya untuk kuliah, tapi punya semangat dan potensi besar untuk belajar dan mandiri. Dengan pelatihan di bidang desain grafis, otomotif, kuliner, menjahit, dan lainnya, RGI menjadi wadah agar para pemuda tak hanya bermimpi, tapi juga punya bekal nyata untuk mengubah hidup mereka dan orang-orang di sekitarnya.

Philanthropy bukan hanya tentang memberi, tapi tentang percaya,  bahwa satu kontribusi kecil bisa membuka jalan bagi perubahan besar. Mari ikut ambil bagian. Jadilah penopang mimpi anak-anak muda Indonesia. Karena ketika satu anak berhasil, sejatinya satu generasi telah diselamatkan. 

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA