Jakarta, (7/8) Pagi ini,
di Backyard Hotel Borobudur Jakarta, sesi Showcase dalam gelaran FIFest 2025
mengajak hadirin menyelami kisah-kisah yang bukan hanya menyentuh hati, tapi
juga menggerakkan langkah. Bertajuk “The Beauty of Philanthropy: Reaching the
Dreams of Indonesia’s Youth,” sesi ini menjadi panggung bagi harapan,
perjuangan, dan kekuatan gotong royong dalam membuka jalan pendidikan anak-anak
bangsa.
Dibuka dengan semangat oleh Suci
Hendrina, Head of CSR Paragon, sesi ini menggaris bawahi filosofi dari program
beasiswa ParaDreams bukan sekadar soal bantuan dana pendidikan, tapi juga
pendampingan, dukungan moral, dan keyakinan bahwa setiap anak Indonesia berhak
bermimpi tinggi dan mewujudkannya.
”Program beasiswa bukan hanya
memberi biaya dan pendampingan, tapi kita juga ingin tumbuh bersama bukan hanya
para pelajar, tapi juga para pengajar. Kita ingin mendukung generasi muda untuk benar-benar merdeka dan mampu
membangun negeri ini dengan mimpi-mimpinya,” tutur Suci.
Dan benar saja, mimpi itu nyata ketika didengar langsung dari dua sosok
muda inspiratif, Devit Febriansyah dan Made
Dea Vio Lantini, dua penerima beasiswa ParaDreams yang kini mengenyam
pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Devit, putra dari keluarga sederhana di mana sang ayah hanya bekerja sebagai buruh angkut kayu dan ibunya
sebagai ibu rumah tangga, bercerita bagaimana semangatnya menuntut ilmu
didorong oleh cinta dan dukungan warga kampungnya. Ketika diterima di ITB
jurusan Teknik Elektro, masyarakat berinisiatif mengumpulkan ongkos agar ia
bisa berangkat ke Bandung. Bahkan Rektor ITB datang langsung ke
rumahnya, memberi semangat dan restu.
“Saya ingin mengubah keadaan,
agar masa depan keluarga saya lebih baik lewat pendidikan,” ujar Devit, lirih
namun penuh tekad.
Sementara itu, Dea, anak nelayan
kecil dari pesisir, dulunya menganggap kuliah di ITB itu sebagai mimpi yang
terlalu tinggi. Tapi tekad dan pengorbanan orang tuanya menjadi bahan bakar
untuk terus maju. Kini, tak hanya berhasil menembus ITB, Dea juga menjadi Duta
Anak di Komisi Perlindungan Anak Indonesia, fokus pada isu-isu anak
berkebutuhan khusus. Mimpinya tak lagi sebatas untuk diri sendiri, tapi untuk
komunitas yang lebih luas.
“Kalau mau meraih capaian besar,
maka usahanya juga harus maksimal,” ucap Dea, penuh semangat.
Moderator sesi ini, Lia Umro
Safitri dari LAZ Al Azhar, menegaskan pentingnya menciptakan lebih banyak
ruang-ruang seperti ini tempat mimpi-mimpi muda Indonesia bisa bertumbuh dan
dibesarkan bersama.
Kisah-kisah seperti Devit dan Dea
bukan hanya menghangatkan hati, tapi juga mengingatkan kita bahwa Masalah pada
negeri ini bukan pada kurangnya bakat, tapi pada sistem yang belum cukup
memberi ruang. Kita tak kekurangan anak hebat, kita kekurangan akses untuk
membuat mereka hebat. Inilah semangat yang juga diusung oleh LAZ Al Azhar
melalui program beasiswa dan pelatihan keterampilan produktif Rumah Gemilang
Indonesia (RGI).
RGI hadir untuk mereka yang
mungkin tak punya cukup biaya untuk kuliah, tapi punya semangat dan potensi
besar untuk belajar dan mandiri. Dengan pelatihan di bidang desain grafis,
otomotif, kuliner, menjahit, dan lainnya, RGI menjadi wadah agar para pemuda
tak hanya bermimpi, tapi juga punya bekal nyata untuk mengubah hidup mereka dan
orang-orang di sekitarnya.
Philanthropy bukan hanya tentang memberi, tapi tentang
percaya, bahwa satu kontribusi kecil
bisa membuka jalan bagi perubahan besar. Mari ikut ambil bagian. Jadilah
penopang mimpi anak-anak muda Indonesia. Karena ketika satu anak berhasil,
sejatinya satu generasi telah diselamatkan.