Tampan Tak Selalu Kompeten: Mengungkap Halo Effect di Dunia Kerja

Tampan Tak Selalu Kompeten: Mengungkap Halo Effect di Dunia Kerja


Risdawati
22/09/2025
39 VIEWS
SHARE

Pernahkah kamu merasa rekan kerja yang berwajah menarik lebih disukai atasan dan mendapat penilaian lebih baik? Padahal, kemampuannya bisa saja setara, atau bahkan di bawah orang yang berwajah biasa. Fenomena ini dikenal sebagai beauty privilege, yaitu keuntungan sosial yang didapat seseorang karena dianggap menarik secara fisik.

Beauty privilege sering kali diperkuat oleh halo effect, sebuah bias kognitif di mana kita menilai seseorang secara keseluruhan berdasarkan satu karakteristik yang menonjol, dalam hal ini, penampilan. Lalu, bagaimana halo effect ini memengaruhi karier kita? Mari kita bahas lebih dalam.

Apa Itu Halo Effect?

Untuk memahami bagaimana halo effect bekerja dalam dunia kerja, kita perlu mengenal konsep dasarnya terlebih dahulu.

Halo effect adalah bias kognitif di mana kesan pada satu aspek seseorang atau sesuatu yang akan memengaruhi persepsi terhadap aspek lainnya. Bias kognitif sendiri adalah pola pikir keliru yang membuat penilaian jadi tidak akurat, karena otak menggunakan “jalan pintas” dalam memproses informasi dengan cepat.

Baca Juga: Ketika Karier Terjebak di Pelukan: Mengulik Fenomena Job Hugging!

Istilah halo effect diperkenalkan oleh psikolog Edward Thorndike pada tahun 1920. Dalam penelitiannya terhadap tentara, Thorndike menemukan sebuah fenomena menarik: kesan awal terhadap penampilan seseorang bisa membentuk pandangan menyeluruh tentang sifat-sifatnya.

Penelitian selanjutnya memperkuat temuan ini, menunjukkan bahwa orang yang berpenampilan menarik cenderung lebih mudah dipandang positif, dianggap lebih cerdas, dan bahkan lebih jarang dicurigai melakukan tindak kriminal oleh hakim. Singkatnya, daya tarik fisik menciptakan bias yang membuat kita menganggap mereka memiliki kualitas positif lainnya.

Contoh Halo Effect di Dunia Kerja

1. Pekerja yang good looking

Kita sering melihat iklan lowongan kerja yang mencantumkan syarat harus good looking alias berpenampilan menarik. Hal ini bukan tanpa alasan, penampilan luar yang menarik memang bisa membuat orang lain mudah yakin terutama ketika ia menyampaikan pendapatnya. Padahal, belum tentu kualitas kerjanya lebih baik.

2. Jabatan tinggi dianggap kompeten

Saat seseorang memiliki jabatan tinggi, kita cenderung langsung menganggap ia pintar dan kompeten. Padahal, bisa saja promosi yang ia dapatkan lebih disebabkan oleh relasi, keberuntungan, atau bahkan halo effect itu sendiri. Tanpa disadari, kita jadi lebih mudah menerima ide atau arahan dari orang yang sudah “berlabel” sukses, meskipun idenya belum tentu lebih baik daripada ide orang lain yang lebih junior atau tak terlalu dikenal.

Baca Juga: Workaholic dan Pekerja Keras, Apa Bedanya?

3. Kinerja Diukur Berdasarkan Citra

Di beberapa tim kerja, karyawan yang aktif bersosialisasi, berpenampilan rapi, dan komunikatif sering mendapat penilaian kinerja yang lebih tinggi meskipun output kerjanya tidak selalu paling menonjol. Sebaliknya, karyawan yang pendiam atau tampil “biasa saja” bisa luput dari perhatian, meski kontribusinya besar. Ini menjadi tantangan besar dalam sistem evaluasi karyawan yang terlalu subjektif atau tidak berdasarkan indikator yang jelas.

Penampilan bisa memikat, tapi bukan tolok ukur kompetensi. Halo effect membuat kita mudah terkecoh oleh kesan pertama, terutama di lingkungan kerja. Menyadari bias ini adalah langkah awal untuk membangun tempat kerja yang lebih adil, objektif, dan benar-benar menghargai kualitas, bukan sekadar citra.


Yuk! Zakat, infak, dan sedekah bersama LAZ Al Azhar. Hadirkan kebahagiaan dan kebermanfaatan yang lebih luas. Klik di sini.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA