Setiap hembusan napas, rezeki yang mengalir, kesehatan yang kita nikmati, hingga waktu luang yang sering kita abaikan semuanya adalah nikmat dari Allah Swt. Sayangnya, tak jarang manusia terlena, menganggap nikmat itu sekadar “bonus hidup”, bukan bagian dari amanah. Padahal, setiap nikmat yang kita rasakan hari ini bukanlah milik kita sepenuhnya. Ia akan menjadi hisab di hadapan Allah kelak.
Kesadaran akan amanah dalam nikmat harus menjadi renungan harian bagi setiap mukmin. Karena nikmat bukan hanya untuk dinikmati, tapi untuk disyukuri dan dipertanggungjawabkan. Maka sebelum datang hari di mana lisan terkunci dan amal berbicara, sudahkah kita mempergunakan nikmat itu dengan sebaik-baiknya?
Sering kali kita lupa bahwa sekecil apa pun nikmat, tak pernah luput dari pengawasan-Nya. Kita mengira cukup dengan bersyukur di lisan, padahal syukur sejati adalah menggunakan nikmat itu dalam ketaatan.
Allah tidak pernah memberi tanpa tujuan. Dan setiap pemberian-Nya akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah At-Takatsur ayat 8, Allah Swt berfirman:
“Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 8)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa tak ada nikmat yang gratis. Mulai dari waktu luang, makanan, kekayaan, kesehatan, hingga rasa aman semua akan ditanya. Maka pertanyaannya bukan lagi “seberapa banyak nikmat yang kita punya”, melainkan “apa yang kita lakukan dengan nikmat itu?”
Bahkan, jumlah nikmat itu sendiri tidak akan pernah mampu kita hitung. Kita sering hanya menyadari nikmat besar, padahal setiap detak jantung, setiap oksigen yang kita hirup, setiap langkah yang masih bisa kita ayunkan, semuanya termasuk nikmat yang Allah titipkan. Allah Swt berfirman:
“Dia telah menganugerahkan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim lagi sangat kufur.” (QS. Ibrahim: 34).
Maka, jika nikmat saja tak terhitung, bagaimana kita bisa meremehkan hisab atasnya?
Betapa seriusnya tanggung jawab atas nikmat ini, bahkan Rasulullah saw, manusia paling mulia, menunjukkan rasa takut terhadapnya. Disebutkan bahwa Baginda Nabi Muhammad saw sering dilanda rasa lapar, karena seringnya beliau tidak menemukan makanan di rumahnya. Saat tidak menemukan makanan di rumahnya, beliau pun berpuasa. Rasulullah tidak merasa sedih atau galau karena musibah berupa rasa lapar itu. Lalu kemudian, pada saat ada sahabat yang mengirim kurma untuk beliau, bukannya gembira tapi Rasulullah malah terlihat sedih dan galau karena teringat dengan ayat sebelumnya.
Begitulah sikap beliau ketika mendapatkan nikmat, mengapa? Karena sekecil apa pun nikmat yang kita dapatkan akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sebaliknya, Allah Swt tidak akan menghisab seseorang atas musibah yang ditimpakan kepada manusia.
Tidak hanya dalam bentuk kisah, Nabi saw juga mengingatkan secara langsung dalam sabdanya tentang hisab atas nikmat yang kita miliki. Baginda Rasulullah saw sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas’ud radiyallahu’anhuma:
“Kaki anak Adam tidak akan bergeser di hadapan Rabb-Nya pada hari kiamat nanti sebelum ditanya tentang lima perkara, yakni umurnya bagaimana ia lalui, masa mudanya bagaimana ia habiskan, hartanya darimana ia dapatkan dan bagaimana ia belanjakan, serta tentang apa yang telah ia amalkan dari ilmu yang ia miliki.” (HR. At-Tirmidzi).
Nikmat adalah ujian yang terlihat menyenangkan. Ia bisa membuat kita lalai jika tidak disikapi dengan hati-hati. Maka, sebelum datang hari di mana segala hal akan ditanya dan dipertanggungjawabkan, mari kita gunakan setiap nikmat waktu, usia, harta, ilmu, dan kesehatan dengan sebaik-baiknya dalam ketaatan kepada Allah. Karena nikmat hari ini, akan menjadi hisab di hari nanti.