Harta adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah titipkan kepada manusia. Namun, di balik kilau dan kenyamanannya, tersimpan ujian besar yang tak semua orang mampu melewatinya dengan selamat. Banyak orang yang tergelincir bukan karena kemiskinan, melainkan karena kelimpahan harta yang membuatnya lalai dan lupa kepada Sang Pemberi. Maka tak heran, Allah mengingatkan bahwa harta dan anak-anak hanyalah cobaan, dan sebaik-baik orang adalah mereka yang mampu menjadikan harta sebagai jalan menuju kebaikan, bukan kebinasaan.
Islam tidak pernah melarang umatnya memiliki harta, tetapi mengingatkan bahwa harta bisa menjadi cobaan besar jika tidak dikelola dengan iman. Peringatan ini bahkan ditegaskan langsung dalam Al-Quran. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 28:
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah juga mengatakan, “Engkau akan menjadi budak harta jika engkau menahan harta tersebut. Akan tetapi, jika engkau menginfakkannya, harta tersebut barulah menjadi milikmu.” (Tafsir Ibnu Katsir, hlm. 443).
Penyakit hati yang paling berbahaya bagi seorang Muslim adalah cinta dunia dan cinta terhadap harta melebihi cinta kepada Allah Swt. Sebab, kecintaan terhadap keduanya dapat mengantarkan kepada kekhufuran. Selain dalam Al-Qur’an, Rasulullah saw juga mengingatkan betapa berbahayanya cinta dunia dan harta. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas ke dalam kumpulan kambing itu lebih merusak daripada keserakahan seseorang terhadap harta dan kedudukan terhadap agamanya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, sanadnya sahih).
Selain itu, manusia yang rakus dan tamak terhadap harta akan mengorbankan segalanya untuk menjaga hartanya. Seorang ulama mengatakan, “Ilmu itu menjaga pemiliknya sedangkan pemilik harta akan menjaga hartanya.” (Miftah Daris Sa’adah, hlm. 29).
Harta bisa menjadi fitnah (ujian) terbesar bagi umat Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah (ujiannya) dan fitnah umatku adalah harta.” (HR. Bukhari).
Misalnya, ketika seorang Muslim diuji dengan harta, ada di antara mereka yang berislam hanya di “pinggiran”. Selama nikmat dunia mengalir, imannya tampak kuat. Namun, saat musibah datang, keimanannya goyah bahkan bisa murtad. Inilah gambaran orang-orang yang keislamannya rapuh, seakan berdiri di tepi jurang.
Maka jelaslah, harta bukan sekadar urusan dunia, tetapi ujian besar bagi keimanan. Lalu, bagaimana cara agar kita tidak tergelincir dalam ujian ini?
Untuk menghindari fitnah harta, setiap Muslim perlu menyadari bahwa harta sejatinya hanyalah titipan yang akan dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, kita perlu membiasakan diri untuk mengelolanya dengan amanah dan kesadaran spiritual. Salah satu caranya adalah dengan menunaikan zakat, infak, dan sedekah secara rutin, agar harta tidak menumpuk dalam hati dan terus membawa keberkahan.
Selain itu, gaya hidup sederhana juga menjadi benteng agar seseorang tidak mudah tergoda oleh gemerlap dunia. Harta yang diperoleh pun harus datang dari jalan yang halal, karena rezeki yang bersih akan menumbuhkan ketenangan jiwa dan menjaga keberkahan hidup. Di atas semua itu, rasa syukur dan tawakal kepada Allah adalah kunci utama agar harta tidak menjadi tuan atas diri kita, melainkan alat untuk mendekat kepada-Nya.
Pada akhirnya, harta bukanlah sesuatu yang harus dijauhi, melainkan amanah yang harus dikelola dengan hati-hati. Ia bisa menjadi sebab seseorang naik derajat di sisi Allah, namun juga bisa menjadi sebab tergelincirnya manusia ke jurang kehancuran. Karena itu, jangan biarkan harta menguasai hati, tapi jadikan hati yang mengendalikan harta. Sebab pada hari ketika semua harta ditinggalkan, hanya amal kebaikan yang akan kita bawa sebagai bekal menghadap-Nya.