Persoalan utang piutang dalam masyarakat kita sudah menjadi sesuatu hal yang lumrah, bahkan membudaya. Yang perlu kita perhatikan dalam berutang adalah kemampuan membayar, niat, dan etika. Etika dalam berutang mungkin tidak tertulis, tetapi ini jadi sesuatu hal yang harus diperhatikan, salah satunya adalah bersikap baik kepada pemberi pinjaman ketika membayar utang.
Membayar utang adalah kewajiban bagi umat muslim. Seseorang yang berutang wajib melunasi utangnya sekecil apapun itu. Utang yang tidak dilunasi akan tercatat sebagai dosa dan menjadi penghalang masuk surga. Persoalan utang piutang sudah jelas disebutkan dalam beberapa hadis dan ayat Al-Qur’an.
”Rasulullah saw telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu". Rasulullah bersabda: 'Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik,'" (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Selain itu dalam surah Al-Baqarah ayat 283 juga dijelaskan tentang utang.
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Q.S Al-Baqarah: 283).
Baca juga: Berutang untuk Beli Hewan Kurban, Emang Boleh?
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa utang itu tidak bisa dianggap remeh. Dan orang yang menunda membayar utang adalah suatu kezaliman. Apalagi bagi orang-orang yang sudah mampu tetapi sengaja menunda pembayarannya.
Penundaan pembayaran utang oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang di antara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lantas bagaimana ketika kita berutang, tetapi pemberi utang sudah wafat? Simak penjelasannya di sini!
1. Membayar kepada ahli waris
Jika kita memiliki utang kepada orang yang sudah wafat tetapi masih memiliki ahli waris, bayarkan utang tersebut kepada ahli warisnya. Berdasarkan Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan, para ahli waris dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak, dan semua piutang orang yang meninggal dunia.
2. Sedekah atas nama yang memberi utang
Jika orang tersebut tidak diketahui keberadaannya atau sudah wafat, Imam Al-Ghazali menyarankan untuk memberikan sedekah atas nama orang yang bersangkutan, jika memungkinkan untuk dilakukan. Hal tersebut diungkapkan dalam penafsiran kitab Sirajut Thalibin (Ihsan Muhammad Dahlan Jampes, Beirut, Darul Fikr, halaman 161).
Baca juga: Duh! Bingung Cara Bayar Utang Puasa Menahun? Simak Penjelasannya!
“Jika engkau tidak sanggup mengembalikan karena ketiadaan harta tersebut dan karena fakir tidak memiliki penggantinya, maka harus kamu meminta kerelaannya pada yang bersangkutan. Jika hal tersebut masih tidak sanggup kamu lakukan karena yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya atau karena dia sudah wafat, maka sedekahlah untuk yang bersangkutan jika mungkin”.
Jika masih tidak memungkinkan, solusi terakhir dari Imam Ghazali adalah, “Kalau itu pun tidak mungkin dilakukan, maka perbanyaklah berbuat baik dan memohonlah kepada Allah dengan kerendahan dan sepenuh hati agar di hari Kiamat kelak yang bersangkutan merelakan haknya yang ada padamu”.
Itulah dua cara yang memungkinkan bisa kamu lakukan jika memiliki utang kepada yang sudah wafat. Perhatikan hal-hal yang berkaitan dengan utang karena menyengaja tidak membayarnya adalah dosa.
Yuk! Zakat, infak, dan sedekah bersama LAZ Al Azhar. Hadirkan kebahagiaan dan kebermanfaatan yang lebih luas. Klik di sini!