Hukum Meminta Kembali Tanah Wakaf

Hukum Meminta Kembali Tanah Wakaf


Risdawati
24/11/2025
8 VIEWS
SHARE

Wakaf adalah salah satu amal jariah yang pahalanya terus mengalir, bahkan setelah seseorang tiada. Karena itu, wakaf memiliki kedudukan khusus dalam syariat. Ia bukan sekadar pemberian, melainkan penyerahan hak milik kepada Allah Swt untuk kemaslahatan umat.

Namun dalam praktiknya, sering muncul pertanyaan: bagaimana hukumnya jika seseorang ingin meminta kembali tanah yang sudah diwakafkan? Untuk memahaminya, kita harus mengetahui hakikat wakaf dalam Islam.

Pengertian Wakaf

Dalam Islam, wakaf bukan sekadar hibah biasa. Wakaf berarti menyerahkan hak milik secara permanen untuk kepentingan umat. Para ulama memandang wakaf sebagai bentuk sedekah jariah, karena manfaatnya terus mengalir selama harta tersebut digunakan untuk kebaikan. Allah Swt berfirman dalam surah Ali Imran ayat 92:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92).

Karena itu, harta yang diberikan dengan niat ibadah seperti wakaf harus dipastikan manfaatnya berlanjut dan tidak ditarik kembali, agar sejalan dengan makna menafkahkan harta yang dicintai karena Allah Swt.

Hukum Meminta Kembali Tanah yang Sudah Diwakafkan

Secara syariat, harta atau tanah yang sudah diwakafkan tidak boleh diminta kembali. Hal ini karena kepemilikan wakaf berpindah dari wakif (orang yang mewakafkan) menjadi hak Allah Swt untuk kemaslahatan umum. Dengan kata lain, wakif tidak lagi berhak menguasai, menjual, atau menarik kembali harta tersebut.

Hal ini digambarkan dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu dia datang kepada Nabi saw untuk meminta pertimbangan tentang tanah itu, maka ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, di mana aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain dari padanya, maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengannya?”

Maka Rasulullah saw menjawab “Jika engkau suka, tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya.” Maka Umar pun menyedekahkan manfaatnya dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak akan dihibahkan dan tidak akan diwariskan. Tanah itu dia wakafkan kepada orang-orang fakir kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusnya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa menganggap bahwa tanah itu miliknya sendiri” (HR. Muslim).

Hadis ini menjadi dasar bahwa harta wakaf tidak boleh ditarik kembali, tidak boleh diwariskan kepada keluarga, dan tidak boleh diperjualbelikan.

Dengan demikian, tanah wakaf adalah hak milik Allah untuk kemaslahatan umat. Setelah diwakafkan, pemilik tidak berhak lagi mengambilnya kembali. Syariat menegaskan bahwa pokok harta wakaf harus tetap utuh, sementara manfaatnya disalurkan untuk kebaikan. Hukum positif Indonesia juga menguatkan melalui Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang tentang Wakaf, bahwa mengambil kembali harta wakaf merupakan tindakan yang dapat dikenai sanksi pidana.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA