Ketika Rasulullah memasuki kota Madinah, semua penduduk berkeinginan rumahnya menjadi tempat tinggal Rasulullah. Rasulullah hanya tersenyum mendapatkan sambutan yang tulus dan ramah dari penduduk Madinah. Beliau tidak lantas memilih rumah paling besar dan nyaman. Tidak juga memilih tinggal di rumah pemuka Madinah.
“Biarlah untaku yang memilih,” kata Rasulullah.
Unta Rasulullah terus berjalan seperti sedang memilih rumah. Sampai akhirnya unta tersebut berhenti di sebuah rumah sederhana milik Abu Ayyub Al-Anshari r. a. Abu Ayyub adalah orang yang sederhana dan ikhlas. Ia gembira bukan kepalang mendapat anugerah tamu yang mulia. Ia segera mempersiapkan tempat untuk Rasulullah saw.
Ia bercerita, “Ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah, beliau tinggal di rumahku. Rasulullah tinggal di lantai bawah, sedangkan aku di lantai atas. Ketika malam tiba, aku tersadar bahwa tinggal di atas nabi berarti berada di antara Rasulullah dan wahyu. Hal itu membuatku susah tidur. Aku pun khawatir jika menggerakkan kaki dapat merontokkan debu-debu sehingga menyusahkan Rasulullah.”
Keesokan paginya, aku berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, saya baru tersadar bahwa saya berada di atasmu dan engkau berada di bawahku. Dan aku takut bila bergerak akan menyebabkan jatuhnya debu-debu kepadamu. Saya pun berada di antara engkau dan wahyu.”
Ternyata, Rasulullah sama sekali tidak keberatan. “Sesungguhnya lebih mudah bagiku untuk tinggal di bawah. Agar mudah ketika menerima tamu,” jawab Rasulullah.
Baca juga: Senin Bersama Rasulullah, Yuk Lebih Bergembira Menyambutnya!
Walaupun begitu, Abu Ayyub tetap harus berhati-hati tinggal di atas Rasulullah. Suatu ketika tempat air mereka pecah sehingga membasahi lantai, karena khawatir air akan menetes ke lantai bawah, ia bersama Ummu Ayyub segera mengeringkan dengan satu-satunya selimut milik mereka. Malam itu Abu Ayyub dan istrinya tidur tanpa selimut.
Setiap hari Abu Ayyub dan istrinya menghidangkan makanan untuk Rasulullah saw. Jika ada sisa, mereka makan pada bagian bekas-bekas tangan Rasulullah saw. Agar mendapat berkah. Abu Ayyub bercerita, “Pada suatu malam, kami sengaja menghidangkan makan malam yang telah dibubuhi bawang. Beliau mengembalikan makanan itu kepada kami. Dan, kami melihat tidak ada sedikitpun bekas tangan beliau.”
Abu Ayyub sedih. Ia pun bertanya kepada Rasulullah mengapa makanan itu tidak dimakan. Rasulullah saw. tersenyum dan dengan santun menjawab, “Aku dapatkan pada makanan ini bau bawang putih, karena senantiasa berzikir kepada Allah, aku tidak senang bila mulutku tercium bau yang tidak enak, sedangkan untuk kalian, silakan kalian memakannya.”
Sejak saat itu Abu Ayyub tidak pernah lagi memakan bawang seumur hidupnya! Padahal, bawang adalah makanan kesukaannya. Sebetulnya, Rasul tidak pernah melarang makan bawang. Abu Ayyub menjadikan apa yang tidak disukai Rasul menjadi ketidaksukaannya juga. Inilah bukti cinta dan baktinya yang besar kepada Rasulullah.
Rasul berkata, “Wahai Ayyub, mau kah aku ajarkan sesuatu yang jika kamu ucapkan setiap pagi dan sore, sebanyak 10 kali, Allah memberikan sepuluh kebaikan, menghapuskan sepuluh dosa, mengangkatmu sepuluh derajat, dan kelak pada hari kiamat engkau akan digolongkan sebagai orang yang telah membebaskan sepuluh budak. Ucapan itu ialah laa ilaha illallaahu wahdahulaa syarikalahu.”
Alangkah bahagianya Abu Ayyub karena Rasul senang dengan pelayanannya dan ia pun diajari zikir yang membawa kebaikan.
Yukkk! Zakat, infak, dan sedekah bersama LAZ Al Azhar. Hadirkan kebahagiaan dan kebermanfaatan yang lebih luas. Klik di sini.