Perasaan kamu tentang artikel ini?
Kebaikan itu memang tidak pernah berteriak meminta diakui. Ia hadir diam-diam, namun meninggalkan jejak yang dalam. Inilah sepenggal kisah Nur Laeli, seorang perempuan sederhana dari desa Pakem. Namanya berarti cahaya. Dan sungguh, ia memang cahaya itu sendiri.
Tidak besar di layar kaca, bukan pahlawan yang biasa dipuja-puja, ia hanya perempuan biasa yang jika bumi ini punya nyawa, mungkin akan memeluk diam-diam dan berkata, ”Terima kasih telah menjagaku.”
Sejak 2019, ia telah mengabdi menjadi guru di TPA Darul Qur’an. Tempat anak-anak belajar bukan hanya huruf-huruf Arab, tapi juga ketulusan, sabar, dan makna iman dari sosok yang tidak pernah letih menyemai kebaikan. Di sela waktu mengajar, ia memimpin Kelompok Wanita Tani (KWT) Pakem Mulyo.
Bersama para ibu lain, ia menanam bayam, sawi, dan harapan. Menyiram bukan hanya dengan air, tapi juga dengan doa dan cinta yang tak kasat mata. Modal awal mereka hanya empat lembar uang sepuluh ribuan. Tapi dari situ, tumbuh lebih dari sekadar daun-daun hijau. Tumbuh juga keyakinan bahwa lahan kecil bisa menjadi ladang pahala, dan peluh bisa jadi bentuk lain dari ibadah.
“Bukan uang yang bikin saya bahagia, tapi karena saya masih diberi tubuh yang bisa bergerak, hati yang bisa peduli, dan waktu yang bisa saya pakai untuk berguna,” katanya.
Benar kata Laeli, kebahagiaan itu memang bukan soal punya lebih banyak, tapi soal bisa memberi lebih banyak. Ia tidak punya rekening gemuk, tapi ia punya ladang yang ditumbuhi syukur.
Kini, ibu-ibu yang tergabung dalam KWT belajar teknik tanam yang lebih baik. Belajar bagaimana memelihara, bagaimana panen lebih optimal, bagaimana mandiri tanpa harus menunggu uluran. Bukan hanya panen sawi dan bayam yang ditunggu, tapi juga panen keberanian dan harga diri. Di tanah kecil itu, Ustazah Nur Laeli menanam lebih dari sekadar sayur. Ia menanam keteladanan. Ia menanam nilai-nilai kehidupan. Ia menanam cahaya.
.jpeg)
