Wahdah (21), seorang gadis sederhana yang lahir di tanah Sinjai yang jauh dari hingar-bingar kota besar. Gadis yang kini belajar bahwa luka bisa menjadi jendela menuju cahaya.
Hidup sering kali mengguncang tanpa peringatan. Sang Ayah meninggal dunia saat ia masih duduk di bangku SMA. Tangis belum sempat kering ketika realitas mengetuk lebih keras; ibu kini menjadi segalanya, berperan menjadi seorang ibu dan juga ayah. Sepeninggal sang Ayah, Wahdah dan keenam saudaranya harus menyaksikan bagaimana sosok Ibu berjuang sebagai kepala keluarga dengan bekerja sebagai petani.
Namun, di balik kesedihan itu, ada tekad yang perlahan menghangatkan hari-hari Wahdah. Ibu tidak pernah lelah menanamkan satu hal yang menjadi nilai hidup, bahwa pendidikan adalah warisan terbaik yang bisa mereka perjuangkan. Impian sang Ayah untuk melihat anak-anaknya tumbuh menjadi manusia berilmu, bertanggung jawab, dan tidak mudah menyerah, kini berpindah tangan ke hati Wahdah yang mulai berjuang di atas jalan terjal.
Sebelum mengenal kamera dan lensa, Wahdah memilih jalan pengabdian. Ia tinggal di pondok pesantren selama satu tahun, menyumbang tenaga dan hati. Enam bulan berikutnya, ia membantu kakaknya mengajar anak-anak TK dan TPA, sembari terus memupuk keinginan yang tak padam, yaitu menjadi manusia yang berilmu. Namun hidup juga tidak selalu mudah, kampus dan biaya kuliah terasa seperti mimpi yang digantung terlalu tinggi. Maka, ia mencari jalan lain, yaitu Rumah Gemilang Indonesia (RGI).
Tuhan menjawab lewat satu pintu bernama RGI; pelatihan gratis kelas Fotografi dan Videografi angkatan ke- 30. Dari sinilah Wahdah menemukan dunia baru. Dunia tempat cerita dari berbagai daerah yang bertemu dalam satu ruang. Dunia yang tidak hanya mengajarinya cara mengambil gambar yang baik, tapi juga bagaimana bersikap, berpikir, dan menjaga hati. Pelajaran agama di pagi dan malam hari menjadi jangkar agar ia tak hanyut dalam euforia duniawi.
Hari-hari di RGI bukan sekadar belajar teknik, itu adalah tempat di mana Wahdah melatih kepekaan, mengenali siapa dirinya, dan menguatkan mental yang nyaris runtuh. Ia bukan lagi sekadar gadis desa, kini menjadi perempuan muda yang berdaya.
Kini, Wahdah bekerja sebagai Content Marketing. 1,5 juta perbulan memang bukan angka yang besar, tetapi penghasilan tersebut cukup untuk meringankan beban Ibu di kampung. Dan di sela jam kerjanya, ia juga kuliah di Universitas Pamulang. Langkah demi langkah, ia berjalan dengan tekad yang pasti.
Ia tahu betul, sukses bukan soal hasil, tetapi tentang bagaimana menikmati setiap peluh dan air mata yang menyertainya. Ia tahu, selagi kaki masih menapak di bumi, hati harus tetap terpaut pada langit. Wahdah memiliki moto yang selalu ia genggam erat: “Sejauh mana pun kaki melangkah, tetaplah kembali ke jalan Allah Swt. Bersyukur dan maksimalkan apa yang kita miliki, karena mengeluh tidak membuahkan hasil.”
Kisah Wahdah bukan tentang menjadi luar biasa. Tetapi tentang bagaimana keteguhan, iman, dan cinta seorang Ibu bisa mengubah duka menjadi pembelajaran hidup. Dan Wahdah? Ia masih terus berjalan. Perlahan, namun hatinya tetap pulang ke arah yang benar.