Dari Debu Konstruksi ke Harum Tanah: Jejak Pemuda yang Menolak Menjadi Pengangguran

Dari Debu Konstruksi ke Harum Tanah: Jejak Pemuda yang Menolak Menjadi Pengangguran


Eliyah
23/10/2025
16 VIEWS
SHARE

Di sebuah sudut Desa Kotayasa, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas, seorang pemuda bernama Ahmad Tarsikin menapaki jalan yang tak banyak dipilih generasi muda: bertani. Di saat dunia berlomba menuju kota dan gedung pencakar langit, Ahmad justru menoleh ke tanah--tempat akar-akar kehidupan bersemayam. Bukan karena warisan turun-temurun semata, melainkan karena keyakinan dan keberanian untuk merintis usaha mandiri dari sesuatu yang sering dianggap remeh oleh anak muda di sekitarnya.

“Keberanian merintis dari tanah yang dianggap remeh adalah langkah pertama menuju hidup yang mandiri dan bermakna."

Ahmad bukan petani sejak lahir. Dulu, ia bekerja di dunia konstruksi, mengayuh hidup di antara debu, panas, dan dentuman mesin. Ia tahu betul bagaimana kerasnya pekerjaan fisik dan bagaimana sulitnya bertahan dari hari ke hari. Namun, di balik rutinitas itu, hatinya rindu akan sesuatu yang lebih bermakna--bukan sekadar pekerjaan untuk hari ini, melainkan warisan untuk masa depan. Sebuah usaha yang tumbuh dari cinta, bukan dari semen dan baja.

Sejak kecil, Ahmad memang terbiasa membantu orang tuanya di ladang. Tetapi ia menyadari, tanpa ilmu yang memadai, hasil bercocok tanamnya tak akan berkembang. Titik balik datang ketika LAZ Al Azhar membuka program pelatihan pertanian bagi pemuda sepertinya. Dari sanalah babak baru kisah hidup Ahmad dimulai.

Awalnya, ia menyewa lahan seluas 4.000 meter persegi. Dengan penuh semangat, ia menanam timun, sawi, dan berbagai sayuran lainnya. Namun, kegagalan demi kegagalan datang silih berganti. Bukan karena kurang niat dan tekun, melainkan karena kurangnya pengetahuan. Meski begitu, Ahmad tidak menyerah. Ia mencari mentor, bergabung dengan kelompok pendamping pertanian, dan belajar langsung dari para petani berpengalaman.

Di balik itu, ada satu hal yang menjadi perhatian utama: peran generasi muda dalam pertanian. Pertanian Indonesia tidak akan mampu bertahan di tengah perubahan zaman. Karena itulah, Koordinator Penyuluh Pertanian Lapangan, Kabupaten Kotayasa, Amin dan LAZ Al Azhar mulai menyisir dan mengajak para pemuda desa untuk ikut serta menjadi bagian dari dunia pertanian.

Dari situlah muncul istilah “petani zilenial” yakni petani muda berusia di bawah 35 tahun yang memadukan semangat, kreativitas, dan teknologi. Salah satu di antaranya adalah Ahmad Tasikin, pemuda yang berani menepis anggapan bahwa bertani sering dianggap pekerjaan tradisional. Ia justru melihat pertanian sebagai peluang masa depan dan bentuk nyata kontribusi untuk negeri. Ia bukan sekadar penerus, melainkan penentu arah masa depan pertanian Indonesia. Melalui tangan-tangan muda inilah inovasi lahir, mulai dari cara bercocok tanam yang lebih modern, hingga sistem distribusi hasil tani yang lebih efisien.

Di tengah perjuangan itu, cemoohan datang dari petani-petani tua yang meragukan metodenya. Namun, Ahmad tetap teguh pada prinsipnya.

“Tanaman itu bukan hanya soal bibit dan tanah, tapi tentang tanggung jawab,” katanya. “Kita harus berani merawat, berani bertahan di tengah tantangan,” lanjutnya.

Bagi Ahmad, stigma bahwa bertani adalah pekerjaan kotor dan rendah menjadi salah satu tantangan terbesar. Ia ingin membuktikan bahwa dengan ilmu, teknologi, dan semangat baru, pertanian bisa menjadi sumber penghidupan yang menjanjikan dan membanggakan.

Kini, perjuangannya membuahkan hasil. Dari lahan sewaan 4.000 meter persegi, Ahmad berhasil memperluas hingga 10.000 meter persegi. Pendapatannya pun kini jauh melampaui masa-masa ia bekerja di proyek konstruksi. Ia juga tak lupa berterima kasih kepada LAZ Al Azhar dan mitra seperti YBM PLN, yang telah membantu menyediakan modal, pendampingan, dan pelatihan.

Kepada generasi muda, Ahmad menyampaikan pesan sederhana namun dalam maknanya:

 “Jangan hanya jadi pekerja, jadilah pengusaha mandiri. Kelola warisan tanah dari orang tua dengan ilmu dan tekad. Isi gelasmu dengan ilmu baru, kosongkan dulu agar bisa diisi dengan hal-hal yang lebih baik.”

Kini, Ahmad Tarsikin bukan sekadar menanam cabai, sawi, atau timun. Ia menanam harapan, inspirasi, dan keberanian bagi para pemuda di desanya. Dari debu konstruksi yang dulu membelenggunya, ia bangkit menapaki tanah yang subur--membuktikan bahwa pemuda bisa berdiri tegak di atas keringatnya sendiri: bersatu, menginspirasi, bersemangat, dan beraksi.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA