Zero Post: Revolusi Hening di Balik Layar yang Terlalu Bising

Zero Post: Revolusi Hening di Balik Layar yang Terlalu Bising


Risdawati
10/12/2025
37 VIEWS
SHARE

“Keheningan itu bukan ketidakhadiran; itu seni memilih untuk tidak dilihat.”

Bagi Generasi Z, keheningan ini bukan kelemahan, melainkan bahasa baru dalam dunia yang terlalu bising. Di tengah derasnya arus konten dan kebutuhan untuk selalu tampak, tren zero post muncul sebagai bentuk pernyataan: tidak semua yang nyata harus dipamerkan, dan tidak semua yang penting harus dibagikan.

Kebiasaan unik yang mereka ciptakan akhirnya mencuri perhatian pengguna media sosial lainnya. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang untuk saling terhubung di era digital, justru berubah menjadi ruang hening bagi mereka, tempat di mana diam adalah bentuk ekspresi.

Melihat fenomena tersebut penulis esai Kyle Chayka mencetuskan istilah zero post untuk pertama kalinya. Istilah ini digunakan Chayka saat menyoroti ritual berbagi kabar secara daring menjadi langka.

Kyle Chayka juga menuliskan hasil temuannya dalam karya berjudul Infinite Scroll yang diterbitkan di majalah mingguan The New Yorker. Ia melihat fenomena zero post sebagai sinyal meredupnya fungsi media sosial, sebuah fase ketika orang tidak lagi memanfaatkannya untuk berbagi kehidupan di dunia digital. Padahal selama ini, Instagram dianggap sebagai cerminan kehidupan sosial penggunanya. Namun kini, cermin itu mulai buram, digantikan oleh keheningan yang dipilih secara sadar oleh Gen Z.

Pandangan itu ia pertegas dalam wawancaranya, ketika Chayka menyebut bahwa tren ini tidak hanya terjadi di kalangan publik figur, tetapi mulai merambah masyarakat.

 “Kita mungkin juga sedang menuju sesuatu seperti zero post, titik di mana orang-orang biasa, masyarakat awam yang tidak profesional dan tidak terkomersialkan berhenti berbagi hal-hal di media sosial karena mereka merasa bosan dengan kebisingan,” ujarnya, dikutip dari BBC.

Pandangan Chayka ini juga diperkuat oleh penelitian yang dipublikasikan di The Financial Times, yang menunjukkan bahwa penggunaan media sosial menurun sekitar 10 persen, terutama di kalangan anak muda. Penelitian tersebut melibatkan 250.000 pengguna media sosial di hampir 20 negara.

Lebih lanjut, Chayka juga mengurai alasan Gen Z yang mengikuti tren zero post.

“Saya punya anak-anak berusia 20-an dan remaja. Ada anggapan di generasi saya bahwa anak-anak zaman sekarang tidak peduli dengan privasi dan mereka senang mengunggah apa pun ke internet,” kata dia.

Namun, realitanya Gen Z mulai enggan untuk mengunggah sesuatu di media sosial setelah mengalami kejenuhan. Sejak lahir, mereka tumbuh dalam dunia yang selalu terhubung, di mana internet menjadi sumber utama untuk berkomunikasi. Namun, ketergantungan ini perlahan mengikis kemampuan mereka untuk bercakap-cakap secara langsung, hingga akhirnya beberapa memilih menarik diri dari aktivitas daring.

Kejenuhan bersosial media yang dialami Gen Z juga diperparah oleh paparan konten kecerdasan buatan atau AI. Banyak Gen Z yang merasa bahwa media sosial kini berisi tentang aspirasi gaya hidup, bukan tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Bagi sebagian Gen Z, hal ini menghilangkan esensi dari tujuan media sosial.

Menariknya, jika platform-platform ini mulai kehilangan pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, dan pengguna biasa berhenti terdorong untuk mengunggah konten, media sosial berisiko berubah menjadi semacam televisi, tempat orang menonton tanpa benar-benar berpartisipasi.

Lebih mengerikan lagi, fenomena ini pada akhirnya bermuara pada apa yang disebut oleh para ahli sebagai “Teori Internet Mati”, yakni teori yang mengklaim bahwa segala sesuatu di internet akan dianggap mati.

Singkatnya, tren zero post bukanlah bentuk boikot terhadap media sosial, melainkan cara pengguna menarik diri dari hal-hal yang terasa tidak autentik (manusiawi). Mereka mulai mencari pengalaman hidup yang lebih nyata, sehingga perlahan menjauh dari dunia maya.

Tren zero post bukan sekadar fenomena sosial, ia adalah pengingat bahwa di dunia yang terlalu sibuk dan bising, diam pun bisa menjadi bentuk ekspresi. Gen Z mengajarkan kita bahwa tidak semua yang penting harus dipamerkan, dan terkadang, hidup yang paling berarti adalah yang hanya kita rasakan sendiri, tanpa filter, tanpa layar, dan tanpa kebisingan digital.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA