Dalam dunia modern yang semakin maju, peran petani sering kali tersembunyi di balik rantai pasokan pangan yang kompleks. Padahal, merekalah fondasi dari ketahanan pangan negara, bekerja sejak dari ladang hingga hasil panennya sampai ke meja makan kita.
Setiap suapan makanan yang kita nikmati menyimpan kisah panjang yang jarang disadari. Di balik segarnya sayur-mayur dan hangatnya nasi di piring, ada kerja keras, harapan, dan perjuangan senyap para petani yang kini menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari krisis iklim, fluktuasi harga, hingga ancaman terhadap keberlangsungan hidup mereka sendiri.
Namun, seberapa sering kita benar-benar memikirkan dari mana makanan itu berasal? Seberapa sering kita menyadari bahwa setiap butir beras, setiap potong sayur, hingga segelas kopi pagi yang menemani hari-hari kita semuanya adalah hasil kerja tangan petani?
Lebih jauh lagi, keberadaan petani berkontribusi pada industri yang lebih luas, dari pembuatan minuman hingga tekstil. Memahami perjalanan dari ladang ke meja makan memungkinkan kita untuk lebih menghargai kontribusi besar yang dilakukan oleh petani dalam setiap gigitan makanan yang kita nikmati sehari-hari.
Petani bukan sekadar produsen pangan. Mereka adalah bagian dari siklus hidup yang menjaga kita tetap bertahan. Tanpa mereka, tak akan ada bahan makanan yang bisa diolah, dijual, atau disantap. Akan tetapi, ironisnya, meskipun peran mereka begitu vital, penghargaan terhadap profesi ini justru semakin menipis, bahkan nyaris tak terdengar dalam percakapan sehari-hari.
Baca Juga: Petani Menua, Anak Muda Menjauh
Perjalanan pangan dari ladang ke meja makan bukanlah proses yang sederhana. Di hulu, petani mengolah tanah, menanam benih, dan menanti hasil panen dengan segala keterbatasan modal, teknologi, dan ketidakpastian cuaca. Setelah panen, hasil pertanian masuk ke tahap distribusi: mulai dari tengkulak, pengepul, distributor besar, hingga akhirnya tiba di pasar dan sampai ke tangan konsumen. Di sepanjang rantai ini, nilai jual meningkat, tetapi keuntungan terbesar justru dinikmati oleh pihak-pihak di hilir. Sementara, petani hanya menerima sebagian kecil dari nilai ekonomi yang dihasilkan oleh makanan yang kita beli dan konsumsi.
Sebagai contoh, harga jual sayur bayam, kangkung dan sawi dari petani ke distributor hanya berkisar antara Rp2000 – Rp5000 per kilogram tergantung musim dan kondisi pasar. Sementara harga yang sampai ke tangan konsumen bisa melonjak dua sampai tiga kali lipat. Ketimpangan ini bukan hanya soal harga, melainkan cerminan dari struktur ekonomi yang tidak seimbang.
Padahal, laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian menyumbang 10,52% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan I tahun 2025. Angka ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, sekaligus bukti bahwa kebijakan yang berpihak pada produksi dalam negeri mampu membawa dampak nyata bagi perekonomian.
Sayangnya, besarnya kontribusi tersebut belum sepenuhnya sejalan dengan kesejahteraan para petani yang ada di lapangan. Banyak petani yang masih hidup dalam keterbatasan, tanpa jaminan harga yang adil maupun akses yang memadai terhadap pasar dan teknologi. Bahkan sering kali pendapatan mereka tidak mencukupi kebutuhan dasar, apalagi investasi dalam teknologi dan pendidikan anak-anaknya.
Data dari BPS pada tahun 2021, sekitar 72,19% petani di Indonesia tergolong petani skala kecil dengan pendapatan bersih rata-rata Rp5,23 juta per tahun. Jika di jabarkan, pendapatan petani Indonesia hanya mencapai Rp435.833 per bulan atau sekitar Rp14.527 per hari. Hal ini sangat berada jauh di bawah garis kemiskinan, yang ditetapkan sebesar Rp535.547 per bulan atau Rp17.851 per hari.
Sebagai konsumen, kita memiliki peran penting untuk turut mengubah kondisi ini. Menghargai makanan berarti juga menghargai mereka yang menanamnya. Kita bisa memulainya dengan lebih memilih produk lokal, membeli langsung dari petani atau koperasi, serta mendukung kebijakan yang berpihak pada pertanian berkelanjutan. Perubahan bisa dimulai dari meja makan kita sendiri dari kesadaran kecil yang membawa dampak besar.
Yuk! Zakat, infak, dan sedekah bersama LAZ Al Azhar. Hadirkan kebahagiaan dan kebermanfaatan yang lebih luas. Klik di sini.