Di tengah zaman yang kerap menakar keberhasilan dari seberapa besar kekuasaan dan harta, sejarah Islam justru menunjukkan bahwa kekuatan sejati tumbuh dari hati yang jujur dan amanah. Ia bukan bangsawan, bukan pula saudagar kaya, namun jejak pengaruh dan ketulusannya mengguncang perjalanan umat. Dialah Abu Ubaidah bin Jarrah, panglima kepercayaan Rasulullah saw, sahabat yang dianugerahi gelar Aminul Ummah atau manusia paling amanah di antara seluruh umat.
Kisah Abu Ubaidah bukan hanya rangkaian peristiwa perang, tetapi sebuah perjalanan spiritual tentang loyalitas, pengorbanan, dan keteguhan kepada Allah Swt. Ia menjadi cermin bagi siapa pun yang ingin memimpin dengan kelembutan hati, bekerja dengan landasan iman, dan menjaga amanah tanpa terbuai oleh gemerlap dunia.
Awal Kehidupan Abu Ubaidah bin Jarrah
Abu Ubaidah lahir pada tahun 583 Masehi atau 27 tahun sebelum masa kenabian Muhammad saw. Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin Jarrah bin Hilal, Al-Fihri Al-Qurasyi Al-Makki. Sejak muda, ia dikenal sebagai sosok yang tenang, lembut, dan bijak. Memiliki postur tubuh yang tinggi, kurus, berwajah tampan, dan berkulit cerah. Namun, bukan penampilannya yang membuat ia dihormati, melainkan tutur katanya yang lembut dan menyejukkan serta kebijaksanaannya yang memancar dari hati.
Abu Ubaidah dikenal sebagai sosok yang tidak banyak berbicara. Namun, setiap kali beliau membuka suara, orang-orang akan terdiam dan menyimak, karena dari lisannya keluar nasihat yang menuntun hati, bukan sekadar kata-kata yang memuaskan telinga. Beliau memeluk Islam melalui ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, menjadikannya bagian dari golongan pertama yang menerima Islam, sekaligus salah satu dari sepuluh sahabat Nabi saw yang telah dijamin masuk surga.
Ibunya, Umamah binti Ghanm bin Jabir bin ‘Abdul ‘Uzza bin Amirah bin Umairah, adalah salah satu yang sempat berjumpai Islam dan akhirnya memeluk agama ini. Sementara ayahnya, Abdullah bin Jarrah bin Hilal Al-Fihri, tetap berada dalam keyakinan lamanya dan tidak menerima ajaran Rasulullah, hingga wafat dalam keadaan musyrik.
Memetik Pelajaran Wala’ dan Bara’ dalam Keberanian Abu Ubaidah di Badar
Salah satu momen paling menggetarkan dalam kisah Abu Ubaidah bin Jarrah adalah ketika terjadi Perang Badar. Saat perang berlangsung, beliau bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Karena keberaniannya, banyak musuh Quraisy yang mundur karena takut, kecuali satu orang yang terus-menerus mengincarnya.
Abu Ubaidah bin Jarrah saat itu berusaha menghindari prajurit itu, hingga akhirnya beliau radiyallahu ‘anhuma menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ternyata, orang yang terbunuh itu adalah Abdullah bin Jarrah, ayah kandungnya sendiri yang datang memerangi Islam. Atas kejadian itu, Allah Swt menurunkan firman dalam surah Al-Mujadilah ayat 22:
“Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya…” (QS. Al-Mujadilah: 22).
Dari kisah ini kita belajar tentang wala’ dan bara’ yaitu mencintai karena Allah dan berlepas diri dari siapa pun yang memusuhi agama-Nya. Kita memahami bahwa iman sejati menuntut keberanian untuk menempatkan Allah di atas segala sesuatu. Bahkan ketika ujian datang dari orang yang paling dekat sekalipun, baik mereka ayah atau ibu kita. Seorang mukmin tetap harus berpihak kepada kebenaran, sebagaimana Abu Ubaidah bin Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di Perang Badar.
Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang Muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah Swt. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surah At-Taubah ayat 24:
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).
Kecintaan Abu Ubaidah bin Jarrah kepada Rasulullah
Dalam Perang Uhud, kecintaan Abu Ubaidah bin Jarrah kepada Rasulullah saw telah mencapai pada puncak ketulusannya. Saat wajah Nabi terluka dan serpihan rantai helm menancap di pipinya, Abu Ubaidah segera maju tanpa sedikit pun keraguan. Dengan giginya sendiri, ia mencabut potongan besi itu agar derita Rasulullah tidak bertambah.
Akibat keinginannya yang bersikap lembut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Jarrah darah pun mengalir, namun senyum keikhlasan menghiasi wajahnya. Para sahabat berkata, “Tidak ada ketampanan yang melebihi gigi tanggal Abu Ubaidah,” karena di balik luka itu ada cinta dan pengorbanan yang suci.
Pemimpin dari para Pemimpin
Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah ditunjuk sebagai panglima tertinggi kaum Muslimin. Di bawah komandonya berbaris para jenderal besar seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash, sehingga ia dikenal dengan gelar Amirul Umara (pemimpin para pemimpin).
Namun segala kejayaan itu tidak sedikit pun mengubah hatinya. Ketika Umar berkunjung ke rumahnya di Syam, yang tampak hanyalah ruangan sederhana berupa dinding tanah liat, sebuah pedang, perisai, dan beberapa potong roti kering. Umar pun meneteskan air mata seraya berkata, “Dunia telah mengubah kita semua, kecuali engkau, wahai Abu Ubaidah.”
Kesederhanaan itu menjadi penanda kepemimpinan yang hakiki. Bagi Abu Ubaidah jabatan bukanlah lambang kehormatan, melainkan amanah yang harus dijaga.
Wafat dalam Keadaan Syahid
Setelah bertahun-tahun mengabdikan diri kepada Islam, Abu Ubaidah bin Jarrah wafat pada tahun 18 Hijriah/639 M akibat wabah Tha’un yang melanda Syam. Banyak sahabat gugur karenanya, dan Abu Ubaidah pun menyambut takdir itu dengan ketenangan. Ketika para sahabat ingin memanggil tabib untuk merawatnya, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak ingin menukar penyakit ini sekalipun dengan seekor unta merah.” Baginya, sakit itu bukan musibah, tetapi jalan menuju kesyahidan sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah saw.
Kepergiannya menjadi penutup indah bagi kehidupan seorang sahabat mulia yang hidup dengan iman, memimpin dengan amanah, dan kembali kepada Allah dalam keadaan diridai.