Dalam kehidupan sehari-hari, tetangga merupakan orang yang paling dekat dengan kita setelah keluarga. Mereka mendengar ketika rumah kita ramai, melihat ketika kita kesusahan, bahkan menjadi saksi dari setiap aktivitas kita. Karena kedekatan inilah, Islam menempatkan hubungan dengan tetangga pada posisi yang sangat mulia.
Bahkan Allah Swt memberikan perhatian yang besar terhadap hubungan bertetangga. Betapa pentingnya hal itu, sampai-sampai Abu Hurairah radiyallahu ‘anhuma pernah khawatir bahwa tetangga akan mendapatkan bagian warisan, karena Rasulullah saw begitu sering menekankan tentang hak-hak mereka. Beliau juga berpesan agar kita tidak menyakiti atau mengganggu tetangga, karena hal itu termasuk bagian dari menjaga kesempurnaan iman.
Rasulullah saw juga sering mengaitkan kehidupan bertetangga dengan keimanan dan kehidupan di akhirat. Dalam sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah, beliau bersabda:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Melalui hadis ini, Rasulullah saw ingin menyampaikan bahwa hubungan dengan tetangga memiliki hak dan tanggung jawab yang bersifat sakral karena berkaitan langsung dengan keimanan seseorang.
Pesan tentang pentingnya menjaga hak tetangga juga ditegaskan dalam hadis lain. Rasulullah saw bersabda:
“Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.” Kemudian, sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman karena keburukan-keburukannya.” (HR. Bukhari no. 6016).
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Tidaklah masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman karena keburukan-keburukannya.” (HR. Muslim no. 46).
Hadis ini memberi pesan yang sangat tegas: keimanan seseorang tidak akan sempurna selama ia masih menyakiti atau mengganggu tetangganya. Gangguan itu tidak selalu berupa perbuatan besar, kadang bisa berupa kata-kata, sikap acuh, atau kebisingan kecil yang mengusik ketenangan orang lain.
Di masa kini, bentuk gangguan terhadap tetangga bisa muncul dengan berbagai cara misalnya memutar musik keras hingga larut malam, parkir sembarangan, membuang sampah ke halaman orang lain, atau bahkan menyebarkan gosip yang merusak nama baik. Hal-hal kecil seperti ini sering dianggap sepele, padahal bisa mengurangi keberkahan dan pudarnya rasa persaudaraan di lingkungan.
Islam mengajarkan bahwa menjaga hak tetangga bukan sekadar soal sopan santun, melainkan bagian dari wujud keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Melalui hubungan baik dengan tetangga, kita bukan hanya membangun kedamaian sosial, tetapi juga menegakkan nilai kasih sayang yang menjadi inti ajaran Islam.
Hubungan dengan tetangga adalah cerminan sejati dari keimanan seseorang. Semakin baik kita memperlakukan mereka, semakin kuat pula iman yang tertanam di hati. Rasulullah saw mengingatkan bahwa iman tidak hanya diukur dari ibadah kepada Allah, tetapi juga dari seberapa aman dan nyaman orang lain hidup di sekitar kita.
Menyakiti tetangga, sekecil apa pun bentuknya, dapat menjadi penghalang seseorang menuju surga. Sebaliknya, memuliakan tetangga adalah amalan yang mendatangkan rahmat, keberkahan, dan kedamaian. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis dari Aisyah radiyallahu ‘anha:
“Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku untuk berbuat baik terhadap tetangga, sampai-sampai aku mengira ia akan menjadikannya sebagai ahli waris.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, marilah kita menjaga lisan, sikap, dan perbuatan agar tidak menyinggung atau menyakiti orang-orang di sekitar kita. Sebab, ketenangan lingkungan adalah bagian dari ketenangan iman.