Bolehkah Wanita Haid Masuk Masjid?

Bolehkah Wanita Haid Masuk Masjid?


Risdawati
26/11/2025
12 VIEWS
SHARE

Masjid adalah bangunan yang memiliki fungsi utamanya sebagai tempat ibadah. Namun, pada praktiknya masjid bisa menjadi tempat sosial, pendidikan, dan pusat kegiatan keagamaan. Karena itu, pertanyaan tentang apakah wanita yang sedang haid boleh masuk masjid sering muncul dan menjadi bahan diskusi di kalangan umat Islam.

Perdebatan tentang boleh dan tidaknya wanita haid masuk masjid sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sudah zaman para ulama terdahulu. Ada yang melarang dengan keras, ada pula yang memberikan keringanan. Perbedaan pendapat ini bukanlah untuk membuat kita bingung, melainkan sebuah rahmat yang menunjukkan betapa luasnya ilmu Islam.

Untuk menjawab hal ini, simak pembahasan lengkap berikut!

Pandangan Jumhur Ulama (Mayoritas) yang Melarang

Hampir semua ulama dari empat mazhab besar (Syafi’i, Hanafi, Hanbali, Maliki) sepakat bahwa wanita haid tidak boleh berdiam diri dan duduk di dalam masjid. Mereka hanya diperbolehkan sekadar melintas dan melewati saja jika ada keperluan mendesak.

Pendapat ini berdasarkan pada landasan utama yaitu qiyas (analogi) dengan orang yang berjunub. Sebagaimana firman-Nya dalam surah An-Nisa ayat 43 berbunyi:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, hingga kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan (pula mendekatinya) sedang junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisa: 43).

Dengan menganalogikan kondisi wanita yang sedang junub, para ulama berpendapat bahwa kondisi haid memiliki hadas yang lebih berat dan lebih lama daripada wanita junub. Sehingga larangan berdiam di masjid bagi wanita haid lebih utama.

Di sisi lain, hadis dari Ummu Salamah memperkuat larangan tersebut, ia berkata:

“Rasulullah saw masuk halaman masjid kemudian mengumumkan dengan suara keras, sesungguhnya masjid tidak halal untuk orang junub dan tidak pula untuk orang haid” (HR. Ibnu Majah).

Namun, hadis tersebut ternyata tidak sahih karena di dalam sanadnya terdapat al-Khathab al-Hajariy dan Mahduj adz-Dzuhliy yang berstatus majhûl (tidak dikenal). Karena itu, hadis ini tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk melarang wanita haid masuk masjid. Meski demikian, demi menjaga kehati-hatian dan menjaga kesucian masjid, sikap yang lebih baik adalah menghindarinya.

Pandangan Ulama yang Memperbolehkan dengan Syarat

Sebagian ulama yang membolehkan wanita yang sedang haid masuk masjid adalah dari kalangan mazhab Zhahiriyah, Ibnu Mundzir, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah serta banyak ulama kontemporer (seperti Syaikh Kholid Mushlih), menyatakan bahwa wanita haid boleh masuk dan berdiam di masjid, selama memenuhi syarat-syarat tertentu.

Pendapat ini didasarkan pada analisis balik terhadap dalil jumhur ulama dan didukung oleh dalil-dalil yang dianggap lebih kuat. Di mana para ulama ini berpendapat bahwa menganalogikan wanita haid dengan wanita junub adalah qiyas ma’al fariq (analogi yang memiliki perbedaan mendasar). Sebab, orang yang junub bisa segera mengangkat hadasnya kapan saja dengan mandi, sedangkan wanita haid hadasnya bersifat alami, yang tidak bisa dihentikan sesuka hati. Mandi pun tidak bisa menyucikannya selama darah masih keluar.

Begitu juga dengan bunyi hadis “Aku tidak menghalalkan masjid…” dianggap lemah atau dhaif oleh banyak ahli hadis terkemuka, sehingga ia tidak bisa dijadikan landasan utama sebagai larangan.

Sementara itu, hadis yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah saw berkata kepadaku: Ambilkan sajadah untukku di masjid! Aisyah mengatakan: Saya sedang haid. Nabi saw bersabda: Sesungguhnya, haidmu tidak berada di tanganmu” (HR. Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa yang menjadi kekhawatiran utama bukanlah “status haid” seorang wanita, melainkan potensi darah haid itu sendiri yang bisa mengotori masjid. Selama ia bisa menjaga kebersihan dan aman dari menetesnya darah, maka tidak ada larangan baginya.

Meskipun pendapat ini termasuk minoritas, ia bisa dijadikan pilihan ketika ada keperluan mendesak. Intinya, bukan berarti bebas masuk, tetapi diperbolehkan dengan syarat: tidak menodai masjid dan memiliki tujuan yang jelas.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat mengenai wanita haid masuk masjid memang nyata. Mayoritas ulama melarangnya dengan alasan menjaga kesucian masjid dan menganalogikan kondisi haid dengan junub, meski dalil hadis yang sering dikutip ternyata lemah. Di sisi lain, sebagian ulama membolehkan wanita haid berada di masjid dengan syarat tertentu, seperti menjaga kebersihan dan memiliki tujuan yang jelas, sehingga bisa dijadikan alternatif ketika ada kebutuhan mendesak.

Perbedaan pandangan ini bukanlah untuk membingungkan, melainkan menunjukkan keluasan ilmu Islam dan fleksibilitas dalam menyesuaikan hukum dengan kondisi nyata. Yang terpenting, wanita haid tetap perlu berhati-hati, menghormati kesucian masjid, serta memastikan masjid tetap bersih dan terjaga.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA