Empat tahun lalu, waktu terasa berhenti di tanggal 4 Desember 2021. Letusan Gunung Semeru tak hanya meluluhlantakkan rumah-rumah dan ladang. Ia juga mengambil sesuatu yang tak tergantikan dari hidup Mufidatul Mufida, yaitu suaminya. Lelaki yang hari itu sedang bekerja sebagai kuli pasir di aliran Besuk Curah Kobokan, tak pernah pulang. Ia gugur bersama ratusan mimpi.
Fida, sapaan akrabnya, kini berusia 23 tahun. Masih sangat muda, namun dunia seolah memaksanya menjadi dewasa lebih cepat. Dengan dua putri kecil yang masih membutuhkan pelukan dan nasi hangat setiap hari, ia belajar menelan pahit sendiri dan menyisakan manis untuk anak-anaknya. Ia bekerja sebagai asisten rumah tangga. Tak ada ruang untuk mengeluh. Tangis ditahan dalam diam. Ia hanya tahu satu hal harus kuat, harus cukup.
Namun ujian tak pernah mengetuk pintu lebih dulu. Kali ini datang dari tubuh kecil Rindi, putri sulungnya. Vonis dokter jatuh seperti petir: tumor otak. Dan sekali lagi, Fida tak bisa memilih. Akhirnya ia berhenti bekerja dan fokus mendampingi anaknya, menjalani rumah sakit seperti rumah kedua.
Saat kisahnya sampai ke telinga para pengurus Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Semeru Gemilang, kelompok yang juga lahir dari luka erupsi dan dibina oleh LAZ Al Azhar, tangan-tangan hangat pun mulai menjangkau. Hasil dari perputaran RPP dan pengembangan KUB pembibitan yang mereka bangun perlahan, sebagian mereka alihkan untuk membantu biaya pengobatan Rindi.
Ia tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan. Tapi ia percaya, selama masih ada orang-orang baik yang peduli, maka harapan tak akan pernah punah.
Di dusun Gumukmas, Desa supiturang RT 08 RW 03, di antara abu dan batu, kisah tentang cinta yang bertahan masih terus ditulis. Nama-nama seperti LAZ Al Azhar dan KSM Semeru Gemilang bukan sekadar organisasi. Mereka adalah saksi bahwa dari bencana pun, kemanusiaan bisa tumbuh.