Sudah menjadi kebiasaan masyarakat muslim memberikan rezekinya kepada sesama dalam bentuk kepedulian sebagai makhluk sosial. Tak ada batasan yang ditentukan ketika ingin memberi, apapun bentuk rezekinya akan menjadi bermanfaat jika niat kita ikhlas karena Allah SWT.
Berbicara tentang memberi rezeki agar dapat bermanfaat bagi orang lain tentu memiliki banyak jalan untuk itu, salah satunya dengan wakaf. Wakaf sendiri merupakan amal jariyah untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam praktiknya, wakaf tidak boleh berkurang nilainya, tidak dijual dan tidak diwariskan, sebab wakaf adalah menyerahkan kepemilikan harta menjadi milik Allah kembali atas nama umat banyak.
Wakaf berasal dari bahasa Arab “Waqafa” yang artinya menahan atau berhenti. Sama juga artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”. Sedangkan menurut istilah, banyak pendapat tentang pengertian wakaf menurut ahli fiqih. Pandangan para ulama tentang wakaf ini memang mengalami banyak perbedaan, sehingga banyak kesimpulan tentang definisi wakaf.
a. Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap di wakif, tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun mendatang.
b. Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Kedua ulama ini memiliki pendapat bahwa definisi wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan, tidak melakukan suatu tindakan
atas suatu benda, yang berstatus milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).
c. Imam Maliki
Dalam mazhabnya, Imam Maliki mendefinisikan wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain. Wakif berkewajiban menyedekahkan dan tidak boleh menarik kembali wakafnya. Bisa dikatakan pula bahwa pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu memberikan manfaat benda secara wajar, sedangkan benda itu tetap menjadi milik wakif.
d. Mazhab Lain
Menurut mazhab lain, sama dengan ketiga mazhab lainnya namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan, yaitu menjadi milik mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf), meskipun penerima tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya. (Mengutip Wahbah Zuhaili, Drs H Ahmad Djunaidi dkk.)
Pada dasarnya, konsep dasar wakaf sama halnya seperti zakat dan infaq, namun yang menjadi perbedaan adalah wakaf merupakan bentuk sedekah harta benda yang nilainya harus dikembangkan secara syariah dan hukumnya sunnah. Selain itu, harta yang diwakafkan juga harus memiliki nilai guna bagi banyak orang bahkan hingga orang yang mewakafkan wafat.
Tindakan wakaf juga memiliki rukun menurut islam, jika tidak maka wakaf tidak akan sah. Yang pertama adalah adanya wakif (pewakaf). Seorang wakif ini harus merdeka, berakal sehat, dewasa, dan tidak dalam keadaan bangkrut. Kedua, adanya al-mauquf dan mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf). Ada dua macam pihak yang menerima manfaat wakaf (nadzir), yaitu pihak tertentu (mu’ayyan) maksudnya penerima merupakan seseorang yang sudah ditentukan dan tidak bisa diubah. Dan pihak tidak tertentu (ghairu mu’ayyan) maksudnya pihak penerima tidak ditentukan secara terperinci, seperti fakir miskin, tempat ibadah, dan lain-lain. Ketiga, adanya shighah atau ikrar wakaf dari orang yang mewakafkan.
Wakaf juga memiliki banyak keutamaan terutama pada wakif atau pewakaf, di antaranya:
Pahalanya akan mengalir pada orang yang berwakaf meskipun ia sudah meninggal dunia. Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR Muslim).
2. Harta benda yang diwakafkan tetap utuh terpelihara dan tidak akan berpindah tangan karena prinsipnya yang tidak boleh ditasharrufkan (dijual, dihibahkan, atau diwariskan).
3. Manfaat barang atau benda yang diwakafkan akan terus dirasakan oleh orang banyak, bahkan lintas generasi.
4. Setiap saat wakaf menebarkan kebaikan dan meringankan beban orang-orang yang membutuhkan bantuan seperti fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang tidak punya pekerjaan, para pejuang di jalan Allah, pengajar, penuntut ilmu, dan lain sebagainya.
5. Wakaf akan terus memajukan dakwah, menghidupkan lembaga sosial keagamaan, mengembangkan potensi umat, mensejahterakan umat, memberantas kebodohan, memutus mata rantai kemiskinan, mengikis kesenjangan sosial.
6. Balasannya surga.
7. Pahalanya akan dilipatgandakan hingga 700 kali lipat.
Tidak ada hal yang paling berharga ketika jiwa sudah mati selain pahala yang akan mengantarkan jiwa itu pada kedamaian. Dengan mewakafkan harta benda, maka kita tengah menanam benih pahala dan ketika sudah berbuah kita bisa memetik hasilnya.
Siapakah manusia yang paling berbahagia? Manusia yang berhenti nafasnya, namun tidak berhenti pahalanya.
Jika kita tidak mampu berwakaf, maka jadilah orang yang selalu bersyukur dengan bersedekah dari hal yang terkecil dahulu, karena tak menutup kemungkinan sedekah yang kita lakukan bisa bernilai pahala dan akan terus mengalir hingga kita tutup usia.