Tidak banyak sahabat yang mendapatkan pujian langsung dari Rasulullah saw, namun Salim Maula Abu Hudzaifah adalah salah satunya. Namanya mungkin tidak sepopuler Abu Bakar atau Umar bin Khattab, tetapi kisah hidupnya menyimpan keteladanan yang luar biasa. Ia bukan terlahir dari keluarga terpandang, bukan pula bangsawan Quraisy. Justru ia memulai hidupnya sebagai seorang budak, posisi yang paling rendah dalam masyarakat Arab kala itu.
Pada saat itu, Salim Maula Abu Hudzaifah seorang budak yang dimerdekakan oleh Tsubaitah binti Ya’ar, istri Abu Hudzaifah karena baiknya akhlak dan tabiat-tabiat Salim. Namun, Abu Hudzaifah yang belum bisa melepaskan Salim, lalu ia membawanya ke al-Haram dan berdiri di hadapan kaum Quraisy untuk mengumumkan bahwa ia mengangkat Salim sebagai anak.
Abu Hudzaifah dan Salim termasuk orang-orang angkatan pertama yang masuk Islam. Mereka datang kepada Rasulullah saw dan mengumumkan bahwa mereka masuk Islam. Tidak lama setelah Abu Hudzaifah dan Salim masuk Islam, Allah Swt membatalkan masalah pengangkatan anak. Hal ini ditandai dengan turunnya surah Al-Ahzab ayat 5, Allah Swt berfirman:
“Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 5).
Ayat ini menegaskan bahwa Allah memerintahkan orang-orang agar mengembalikan anak-anak angkatnya kepada bapak mereka untuk menjaga nasab dan mencampakkan salah satu kebiasaan di masa jahiliah. Karena itu, Abu Hudzaifah mencari bapak kandung Salim, namun ia tidak menemukannya karena Salim telah tertawan sejak kecil lalu dibawa ke Makkah dan dijual ke pasar budak.
Oleh karena itu, orang-orang memanggilnya Salim Maula Abu Hudzaifah (Salim bekas hamba sahaya Abu Hudzaifah). Sehingga Abu Hudzaifah dan Salim menjadi saudara seiman, dari kisah persaudaraan ini Islam ingin menghapuskan segala bentuk fanatisme jahiliah. Abu Hudzaifah pun menikahkan Salim dengan keponakannya yang merupakan wanita Quraisy dari Abd Syams yang memiliki nasab dan kedudukan.
Kemudian terpisahlah Abu Hudzaifah dan Salim, karena Abu Hudzaifah berhijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan akidahnya dari tekanan kaum Quraisy. Sedangkan Salim tetap tinggal di Makkah bersama Rasulullah untuk berkonsentrasi mempelajari Al-Qur’an sehingga ia mampu menghafal dan mentadaburinya. Ia menjadi salah seorang hafizh Qur’an di zaman Rasulullah saw dan menjadi salah satu dari empat orang yang di mana Rasulullah saw berpesan kepada kaum Muslimin agar mereka mengambil Al-Qur’an dari mereka (Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabal).
Meskipun Salim memulai hidupnya dari kondisi yang sangat sederhana, namun ia tidak pernah berputus asa. Dengan ketekunan dan ketulusan iman, ia tumbuh menjadi sosok yang dikenal karena ketakwaan dan kemurnian hatinya. Keunggulannya dalam memahami Al-Qur’an membuat para sahabat radhiyallahu ‘anhuma mempercayainya sebagai imam sampai Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka, saat mereka hijrah dari Makkah ke Madinah, bahkan saat di antara mereka terdapat Umar bin Khattab dan sahabat besar lainnya. Kisah Salim adalah bukti bahwa cahaya iman mampu mengangkat derajat seseorang jauh melampaui status duniawi apa pun.
Setelah hijrah, Allah kembali mempertemukan Salim dengan Abu Hudzaifah. Keduanya kemudian ikut serta dalam Perang Badar bersama Rasulullah. Di pihak musyrikin berdiri ‘Utbah bin Rabi’ah, ayah Abu Hudzaifah bersama Syaibah bin Rabi’ah, pamannya, dan al-Walid bin Rabi’ah, saudaranya. Seusai peperangan, saat mereka memeriksa para korban, Abu Hudzaifah melihat ayah, paman, dan saudaranya telah tewas dalam kekafiran. Dengan penuh keyakinan ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memenangkan Nabi-Nya dengan kematian mereka.”
Tidak berhenti sampai di Badar, Salim dan Abu Hudzaifah juga turut serta dalam Perang Yamamah yang dipimpin Abu Bakar ash-Shiddiq untuk menumpas Musailamah al-Kadzab. Pada saat itu, Salim berkata kepada kaum Muhajirin, “Aku adalah seburuk-buruk pembawa Al-Qur’an jika kaum Muslimin kalah karena aku.” Dengan tekad itu, ia maju memegang panji kaumnya. Tangan kanannya terputus, lalu ia beralih menggenggam dengan tangan kiri hingga tangan itu pun terputus. Namun ia tetap mempertahankan panji dengan kedua lengannya sampai tubuhnya tak lagi mampu menahan luka-luka, hingga akhirnya ia jatuh tersungkur.
Ketika perang telah usai, Khalid bin Walid berdiri di atas Jasad Salim Maula Abu Hudzaifah, kemudian ia bertanya, “Apa yang dilakukan kaum Muslimim, wahai Khalid?” lalu Khalid bin Walid pun menjawabnya, “Allah telah menetapkan kemenangan bagi mereka, dan membunuh Musailamah al-Kadzab dan para pengikutnya.”
Salim pun bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan saudaraku, Abu Hudzaifah?”
Khalid menjawab, “Dia telah berpulang kepada Rabbnya dengan gagah berani, gugur sebagai syahid.”
Kemudian Salim meminta, “Bawalah aku ke sampingnya!”
Khalid menjawabnya, “Dia berada di bawah kakimu.”
Lalu Salim memejamkan matanya sambil berkata, “Kita di sini bersama, wahai Abu Hudzaifah, kita di sini bersama wahai Abu Hudzaifah…” setelah mengucapkan kalimat itu ia menghembuskan nafas terakhir dan menjadi syuhada.
Perjalanan hidup Salim Maula Abu Hudzaifah mengajarkan kita bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh nasab atau kedudukan, melainkan oleh iman dan kecintaan kepada Al-Qur’an. Dari seorang budak hingga gugur sebagai syahid dalam keadaan mempertahankan panji Islam, Salim menunjukkan bahwa siapa pun dapat ditinggikan derajatnya oleh Allah. Semoga keteguhan hatinya menjadi inspirasi bagi kita untuk menjaga Al-Qur’an dan mendekat kepada Allah dengan hati yang lebih bersih.