Saat ini, dalam kalender hijriah umat Islam telah memasuki bulan Rabiul Awal atau sering disebut juga dengan bulan Maulid. Pada bulan ini terdapat momen istimewa bagi umat Islam, sebab manusia paling mulia Nabi Muhammad saw dilahirkan. Beliau adalah sosok yang membawa risalah dan teladan bagi kehidupan umat. Namun, di balik semaraknya peringatan Maulid ini, sering muncul pertanyaan mendasar bagaimana hukumnya memperingati Maulid Nabi Muhammad saw dalam pandangan Islam?
Menurut Majlis Ulama Indonesia (MUI), hukum merayakan Maulid Nabi saw adalah bid’ah hasanah. Artinya, meski perayaan ini tidak pernah dilakukan secara khusus oleh Nabi dan para sahabatnya, namun bentuk kegiatannya mengandung kebaikan, tidak bertentangan dengan Al-Qur’an maupun hadis, sehingga boleh dilakukan.
Kebolehan merayakan Maulid Nabi Muhammad memiliki argumentasi syar’i dan kuat. Seperti Rasulullah saw merayakan hari kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa pada hari Senin.
“Dari Abi Qatadah al-Anshori ra sesungguhnya Rasulullah saw pernah ditanya mengenai puasa hari Senin. Rasulullah saw menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku." (HR. Muslim).
Baca Juga: Maulid Nabi, Momentum Meneladani Akhlak Rasulullah Lewat Cara yang Sesuai Syariat
Imam al Suyuthi menanggapi tentang hukum merayakan atau memperingati Maulid Nabi saw, beliau mengatakan:
“Menurut saya asal perayaan maulid Nabi saw, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Quran dan kisah-kisah teladan Nabi saw sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi saw, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia." (Al- Hawi Li al-Fatawa, juz I, hal. 222).
Kita juga dianjurkan untuk bergembira atas kelahiran Rasulullah yang membawa rahmat bagi semesta alam. Allah Swt berfirman:
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58).
Bahkan ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, hadis itu menerangkan bahwa setiap hari Senin, Abu Lahab diringankan siksaannya di neraka. Lantaran ia bergembira ketika Nabi Muhammad lahir, saking bahagianya sampai-sampai ia harus memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah. Jika Abu Lahab yang kafir dan Al Quran jelas mencelannya, diringankan siksaannya karena ungkapan senang atas kelahiran Nabi saw. Lalu bagaimana umat Islam yang gembira atas kelahiran Nabi Muhammad sebagai teladan umat?
Agar perayaan Maulid Nabi saw terjaga, tidak melenceng dari aturan syariat sebaiknya diikuti etika-etika berikut:
1. Membaca salawat kepada Rasulullah saw
Baca Juga: Sambut Maulid Nabi dengan Gembira!
2. Memperbanyak zikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah Swt
3. Menunjukan rasa gembira dan merasakan kehadiran Rasulullah saw
4. Mengadakan majelis taklim atau pengajian
5. Mengisahkan sejarah dan keteladanan Rasulullah saw
6. Bersedekah kepada sesama
7. Mempererat silaturahmi
Maulid Nabi bukan hanya perayaan, tapi ajakan untuk kembali pada keteladanan Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan manusia terutama bagi umat Islam.
Yuk! Zakat, infak, dan sedekah bersama LAZ Al Azhar. Hadirkan kebahagiaan dan kebermanfaatan yang lebih luas. Klik di sini.