Tidak semua pahlawan mengenakan seragam. Sebagian memakai caping, menggenggam cangkul, dan berjalan di pematang sawah dengan langkah yang pelan tapi pasti.
Mereka tak tercatat dalam buku sejarah, tapi di tangan merekalah kehidupan terus berdenyut. Salah satunya adalah Abah Entus, seorang lelaki yang menua bersama kerja keras, namun tak pernah kehilangan harapan.
Lahir pada tanggal yang sama dengan Hari Kemerdekaan Indonesia, Abah tumbuh dengan keyakinan bahwa merdeka bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tapi juga tentang keberanian untuk terus berjuang, meski hidup tak selalu berpihak. Dari sopir truk hingga buruh bangunan, dari krisis hingga keterpurukan, ia tetap berdiri. Karena bagi Abah, menyerah bukan pilihan; menanam, meski dengan tangan keriput, tetap menjadi cara terbaik untuk melawan putus asa.
Kini, di tanah wakaf yang ia rawat bersama warga Desa Sukanagalih, semangat itu hidup kembali. Ia tak hanya menanam padi atau ikan, tapi menanam sesuatu yang lebih abadi harapan. Harapan bahwa kemandirian bisa tumbuh dari kolam kecil di kampung, bahwa keberkahan bisa datang dari kerja jujur, dan bahwa usia senja bukan alasan untuk berhenti berjuang.
Tahun 1998, ketika krisis moneter mengguncang negeri, banyak orang kehilangan arah. Termasuk Abah. Ia memutuskan pulang ke kampung halamannya, ke Cihateup, Desa Sukanagalih, Kecamatan Rajapolah. Di sana, ia mulai menata ulang hidup dari nol. Menjadi buruh harian lepas, mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan tangan tuanya. Asal halal, asal bermanfaat.
Pelan-pelan, keuletannya menarik perhatian. Abah dipercaya menggarap lahan wakaf milik Pesantren Miftahul Falah, juga beberapa lahan perorangan. Ia mengolah tanah bukan sekadar untuk menanam padi, tapi juga menanam harapan. Di setiap biji yang ia semai, ada doa agar tanah ini tetap hidup, agar anak cucu kelak tak kehilangan makna dari kata “berjuang”.
Tahun 2022 menjadi babak baru. Bersama beberapa warga, Abah ikut merintis Kelompok Budidaya Ikan Nila “Berkah Jaya”, sebuah nama yang sederhana, namun penuh makna. Di atas lahan wakaf pesantren, mereka membangun kolam ikan, menebar benih, dan memelihara mimpi. Di sanalah semangat gotong royong hidup kembali, bukan sekadar untuk ekonomi, tapi untuk martabat bersama.
Dan ketika program pemberdayaan hadir di Desa Sukanagalih pada akhir tahun 2023, melalui kolaborasi LAZ Al Azhar dan DEKS BI, Abah merasa seolah semesta akhirnya menjawab doanya. Ia dan kelompoknya, KSM Berkah Jaya, menjadi bagian dari RPP Akad Salam. Dari lahan sekitar 2.800 meter persegi, hasil panennya naik dari 700 kilogram menjadi 850 kilogram. Angka itu mungkin tak seberapa bagi sebagian orang, tapi bagi Abah, itu bukti bahwa kerja keras tak pernah mengkhianati.
Kini, di usia senjanya, Abah Entus masih menolak diam. Ia mulai beternak ayam, membangun kandang sederhana di samping rumah. Modalnya kecil, tapi semangatnya besar. “Yang penting bergerak dulu,” katanya sambil tersenyum, menatap tanah yang telah lama menjadi saksi jatuh bangunnya.
Abah percaya, perubahan tidak lahir dari kesempurnaan, melainkan dari keberanian untuk mulai meski dengan langkah kecil. Karena bagi Abah Entus, selama tangan masih bisa bekerja dan hati masih bisa berharap, usia hanyalah angka. Dan di atas tanah wakaf, di antara gemericik air kolam dan suara ayam di pagi hari, ia terus menanam sesuatu yang lebih berharga dari padi atau ikan, yaitu harapan.