Di pagi hari yang masih dibalut kabut tipis, suara gemerisik padi di sawah Desa Manggungsari seolah membawa bisikan harapan. Di tengah hamparan hijau itulah, seorang lelaki paruh baya melangkah pelan namun pasti, seperti waktu yang tak pernah terburu-buru namun selalu menuju.
Nandang Suhendi (49), lahir di Tasikmalaya pada 8 Januari 1976. Bukan hanya petani, ia adalah penjaga harapan di desanya, penggerak perubahan yang memulai semuanya dari tanah, keringat, dan keyakinan penuh.
Sawah seluas 2.400 meter persegi yang ia garap bukan sekadar ladang padi, itu adalah ruang doa, perjuangan, dan mimpi. Dulu, hasil panennya hanya 600 kilogram. Sedikit, tak cukup untuk menutup semua kebutuhan. Tapi ia tak menyerah. Ia membaca ulang garis nasibnya, dan memutuskan untuk menulis ulang takdirnya sendiri.
“Tuhan punya keputusan, tetapi manusia punya usaha. Fokus untuk berupaya, dan biarkan Tuhan yang menentukan takdirnya.”
Melalui Program RPP (Rumah Pembiayaan Pertanian) dengan akad bai’ salam, ia membuktikan bahwa pertanian tidak harus selalu identik dengan penderitaan. Justru pertanian adalah penopang bagi perut-perut yang lapar. Petani adalah orang yang paling berjasa memastikan ketahanan pangan (ketersediaan makanan yang cukup, aman, dan bergizi) bagi masyarakat, serta menjaga lingkungan dan ekonomi melalui pengelolaan lahan dan penyediaan hasil pertanian.
Di skema syariah yang adil, ia menemukan angin baru: modal tanpa riba, pendampingan yang nyata, dan panen yang sepenuhnya terserap. Kini, hasil panennya naik menjadi 850 kilogram. Bukan hanya angka, ini adalah simbol bahwa harapan bisa bertumbuh, asal ditanam dengan tekad dan dirawat dengan pengetahuan.
Bukan Soal Padi dan Pupuk
Sebagai Ketua Saung Ilmu Manggungsari Berdikari, Kepala Dusun Cirendeu, dan Ketua Kampung KB, ia menggerakkan lebih dari sekadar pertanian. Ia menyentuh akar persoalan desa: keluarga, pendidikan, kemandirian. Ia membuka Saung Ilmu bukan sekadar ruang belajar, tetapi ruang bertumbuh (tempat orang-orang yang tidak hanya duduk, tetapi juga berdiri dengan gagasan dan keberanian).
Di sana, warga saling bertukar ilmu, mengasah keterampilan, belajar tentang kesehatan, dan membicarakan masa depan dengan mata terbuka. Ia percaya, desa yang kuat berawal dari keluarga yang berdaya. Dan keluarga yang berdaya, lahir dari masyarakat yang diberi ruang untuk belajar dan memimpin dirinya sendiri. Nandang tahu, ia bukan siapa-siapa tanpa desanya. Tetapi ia juga tahu, setiap orang bisa menjadi siapa saja, jika hatinya dipenuhi kepedulian.
Nandang, nama sederhana, tetapi tidak dengan tekadnya. Hari ini, namanya tak hanya dikenal sebagai petani produktif, ia adalah pemimpin yang menyala. Obor kecil di tengah gelap yang menolak padam, meski angin datang bertubi-tubi. Di tangan Nandang, pertanian menjadi jalan yang luas penuh makna. Pemberdayaan menjadi Gerakan yang tidak sekadar butuh panggung. Perubahan ini hadir dari suara-suara kecil yang berani bersatu, lalu tumbuh bersama.
Bagi Nandang, desa bukan hanya tempat tinggal, desa menjadi tempat kembali. Tempat di mana benih harapan ditanam, dan perlahan, dengan tangan-tangan sederhana, hasilnya dituai bersama.