Dua Tahun Genosida Palestina: Seruan Iman dan Persatuan Umat Islam

Dua Tahun Genosida Palestina: Seruan Iman dan Persatuan Umat Islam


Risdawati
07/10/2025
27 VIEWS
SHARE

Tepat hari ini, 7 Oktober 2025, genap dua tahun sejak pecahnya agresi besar-besaran yang menghantam Gaza, Palestina. Dua tahun penuh luka, darah, dan air mata. Ribuan nyawa melayang, jutaan hidup dalam ketakutan, dan bumi yang diberkahi itu berubah menjadi ladang penderitaan.

Namun yang lebih menyakitkan dari semua itu adalah diamnya dunia. Dunia yang mengaku beradab, bungkam. Lembaga internasional tak lebih dari panggung teater tanpa aksi nyata. Bahkan, sebagian besar negara Muslim hanya mampu berdoa sambil menggeleng tak berdaya.

Dua tahun telah berlalu, namun kenangan pahit ini akan selalu diingat sebagai titik balik sejarah Palestina dan dunia. Thufan Al-Aqsa (Badai Al-Aqsa) menjadi momentum yang mengguncang peta politik global, menggoyahkan hegemoni, dan membuka mata dunia terhadap wajah asli kolonialisme modern bernama Israel.

Kini dunia mulai sadar, yang terjadi di Gaza bukanlah perang antar dua negara yang setara, melainkan penjajahan dan penindasan terhadap rakyat sipil tak berdosa. Sudah lebih dari tujuh dekade mereka hidup di bawah pendudukan yang brutal. Propaganda Israel tentang “hak mempertahankan diri” kini runtuh seketika, karena realita yang mereka lakukan adalah pemboman rumah sakit, pembunuhan terhadap anak-anak, blokade bantuan kemanusiaan, semua menjadi saksi nyata runtuhnya moral kemanusiaan Zionis Israel dan sekutunya.

Meskipun dunia internasional sempat bungkam, kini gelombang kesadaran mulai tumbuh. Dua tahun berlalu, dan sesuatu mulai berubah, baik di mata dunia maupun di hati nurani umat manusia.

Kini, Israel semakin tersisih dan terpojok di mata dunia. Rezim ini telah kehilangan simpati internasional dan berubah menjadi common enemy, musuh bersama bagi mayoritas negara anggota PBB dan masyarakat sipil global. Dari jalan-jalan di Jakarta, London, New York hingga Johannesburg, jutaan orang turun ke jalan membawa satu pesan: akhiri penjajahan, bebaskan Palestina.

Namun, di tengah penderitaan yang tak terbayangkan, rakyat Gaza memperlihatkan kekuatan yang luar biasa. Mereka tidak menyerah pada kehancuran, tidak tunduk pada ketakutan, dan tidak kehilangan martabat meski dunia sering membiarkan mereka sendirian. Keteguhan itu, justru di saat paling gelap, menjadi cahaya bagi kemanusiaan. Gaza mengajarkan dunia arti sejati dari keberanian, keteguhan, dan iman pada keadilan.

Dari reruntuhan Gaza, dunia menyaksikan lahirnya gelombang empati dan solidaritas global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gerakan masyarakat sipil, lembaga kemanusiaan, akademisi, pemimpin agama, hingga parlemen dunia membentuk poros baru kesadaran global yang menegaskan bahwa penjajahan dan genosida tidak bisa lagi ditoleransi. Empati itu berubah menjadi energi politik dan moral untuk melawan kejahatan kemanusiaan yang sistemik dan melawan hegemoni yang selama ini membungkam suara kebenaran.

Namun di balik kehancuran yang kasat mata, ada pesan langit yang tak boleh kita abaikan. Tragedi ini bukan hanya soal korban dan penjajah, tetapi soal umat yang diuji sejauh mana iman kita bersuara saat kezaliman merajalela, dan sejauh mana hati kita tergugah melihat darah saudara kita mengalir di tanah suci.

Tetapi bagi umat Islam, tragedi ini bukan sekadar bencana kemanusiaan. Ia adalah panggilan iman untuk bangkit, bersatu, dan kembali kepada Allah. Genosida di Palestina adalah tragedi. Tapi ia juga adalah panggilan Allah untuk membangunkan umat yang tertidur. Dari Gaza yang hancur, kita belajar tentang sabar. Dari syuhada mereka, kita belajar tentang makna hidup. Dari anak-anak mereka yang tetap tersenyum dalam kelaparan, kita belajar tentang harapan. Jika hari ini kita tidak peduli, kelak Allah akan bertanya: “Apa yang engkau lakukan ketika saudaramu dibunuh?” Dan di saat itu, lisan tak lagi bisa berdusta.

Karena itu, inilah waktunya bagi kita untuk tidak lagi berdiam diri. Seruan keimanan tak cukup hanya disampaikan dari mimbar-mimbar, tapi harus terwujud dalam sikap dan tindakan nyata. Persatuan bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah amanah. Solidaritas terhadap Palestina harus terwujud dalam langkah konkret mulai dari memperluas kesadaran, menyuarakan kebenaran, memboikot produk penjajah, hingga mendukung lembaga-lembaga yang benar-benar amanah dalam membantu mereka yang tertindas. Dan yang paling penting, kembali kepada Allah dengan doa, amal saleh, dan penguatan iman.

Dua tahun tragedi ini bukan hanya menjadi jejak luka dalam sejarah, tetapi juga panggilan untuk menciptakan perubahan. Dari tanah yang luluh lantak itu, mari kita lahirkan kesadaran baru: bahwa penderitaan satu bagian dari umat adalah tanggung jawab kita semua. Kita bukan sekadar penonton dalam sejarah, tetapi bagian dari umat yang harus bertindak, bersuara, dan berdiri membela keadilan.

Semoga, ketika lembar sejarah dituliskan kembali, tercatat bahwa kita adalah generasi yang tidak tinggal diam. Yang memilih untuk berpihak kepada kebenaran bukan tunduk pada ketakutan. Dan semoga dari Gaza yang luluh lantak, terbit gelombang kesadaran global bahwa kemerdekaan Palestina bukan sekadar harapan, melainkan keniscayaan yang harus diperjuangkan bersama.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA