Satu Sentuhan, Seribu Makna: Filosofi Berbagi dan Rasa Cukup

Satu Sentuhan, Seribu Makna: Filosofi Berbagi dan Rasa Cukup


Eliyah
25/08/2025
12 VIEWS
SHARE

“Satu nasi bungkus. Satu pesan makanan. Satu klik sedekah. Kadang cukup untuk mengubah hidup orang lain, dan juga hidup kita sendiri.”

Pernahkah kita berhenti sejenak, menatap sekitar, lalu sadar bahwa hidup ini sering kali timpang? Ada yang makan berlebihan hingga terbuang, sementara di sudut lain seseorang menahan lapar dengan air putih semalaman. Di tengah kesenjangan itu, berbagi hadir sebagai jembatan. Sederhana bentuknya, yakni sebungkus nasi, selembar uang, atau satu klik sedekah. Namun dampaknya bisa melampaui yang terlihat.

Berbagi bukan sekadar memberi apa yang kita punya. Lebih dari itu, berbagi adalah cara mengingatkan diri bahwa rasa cukup lahir bukan dari banyaknya harta, melainkan dari keluasan hati untuk melepaskan.

Di antara orang-orang yang menjadikan berbagi sebagai napas hidupnya, ada sosok bernama Midya Nurwulan Santi. Ia bukan tokoh terkenal, bukan pula sosok yang sering muncul di layar televisi. Namun cara ia memaknai berbagi membuat mata terbuka: kebaikan sejati lahir dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan ketulusan besar.

Filosofi hidup Midya sederhana, yakni berbagi adalah panggilan hati, bukan sekadar kewajiban. Banyak orang bertanya-tanya, apa arti berbagi baginya? Apakah karena ajaran agama? Atau hanya ikut tren sosial? Midya tak pernah melihatnya sesederhana itu. Baginya, berbagi adalah soal keikhlasan--melepaskan tanpa berharap kembali. Layaknya membuang sampah: dilakukan dengan sadar, tanpa pernah menunggu balasan.

Ia tak pernah menghitung apa yang diberi dan apa yang diterima. Justru yang ia takutkan adalah perasaan “berjasa” yang bisa menyelinap diam-diam ke dalam hati. Seolah hidup yang dimudahkan adalah hasil barter antara sedekah dan balasan dari langit. Padahal, menurut Midya, kebaikan sejati hadir justru ketika tidak ada hitung-hitungan.

Sejak masih menjadi pegawai kantoran, ia memegang teguh satu prinsip, bahwa setiap rezeki yang masuk, harus ada yang keluar. Memberi bukan menunggu kaya. Bahkan ketika hidup berubah, dari pekerjaan tetap ke dunia serabutan yang tak menentu, prinsip itu tetap hidup. Tak peduli seberapa kecil rezeki yang datang, selalu ada yang ia sisihkan. Karena bagi Midya, berbagi adalah bagian dari ritme hidup.

Meski begitu, ia bukan pemberi yang sembarangan. Midya memilih dengan cermat. Ia menaruh perhatian pada lembaga-lembaga sosial: siapa penerimanya, ke mana dana mengalir, seberapa transparan pengelolaannya. Salah satu yang ia percayai adalah LAZ Al Azhar. Alasannya sederhana, yakni laporan yang jelas, proses yang aman, dan makna berbagi yang terasa nyata.

Dalam keluarganya, berbagi sudah menjadi budaya. Setiap Ramadan, mereka menggelar kegiatan sosial bersama. Semua ikut andil: anak-anak, orang tua, bahkan kakek-nenek. Ada buka puasa bersama anak jalanan, kunjungan ke panti asuhan, atau sekadar berdonasi. Ada yang menyumbang uang, ada yang membantu tenaga, bahkan pakaian bekas pun dijual untuk mengumpulkan dana. Midya percaya, kebaikan harus dilatih dan dibiasakan. Kalau tidak, hidup akan sibuk dengan urusan pribadi yang tiada habisnya.

Sikap itu ia tularkan tanpa banyak kata. Saat memesan makanan daring, ia sering berkata pada pengemudi, “Pak, nggak usah dianter. Bapak makan aja.” Satu kalimat ringan, satu tindakan kecil, tapi dampaknya bisa begitu dalam.

Kepada anaknya, ia juga tak banyak berceramah. Ia hanya mengajak. Saat membungkus nasi untuk dibagikan, sang anak ikut melihat dan membantu. Lalu ia menjelaskan, “Ini nasi mau dikasih ke orang-orang yang belum bisa makan.” Tak perlu teori panjang. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar.

Bagi Midya, berbagi bukan soal seberapa banyak yang keluar, tetapi seberapa tulus kita melakukannya. Ia menunjukkan bahwa kebaikan tidak harus menunggu kaya raya atau memiliki segalanya. Dari hal-hal sederhana, Midya membuktikan bahwa berbagi bisa menjadi cahaya yang menerangi jalan banyak orang.

Kita memang tidak bisa mengubah dunia seorang diri. Tetapi kita bisa mengubah dunia seseorang dengan satu kebaikan. Dari tangan yang memberi lahir senyum, dari hati yang ikhlas tercipta keberkahan, dan dari langkah kecil hari ini mungkin tercatat sebagai amal besar di akhirat nanti.

Pada akhirnya, berbagi bukan hanya tentang menolong orang lain. Ia juga menjadi cara terbaik untuk menolong diri sendiri—agar semakin dekat kepada Allah.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA