Setiap beberapa tahun, dunia pendidikan Indonesia kembali “berganti baju” meluncurkan kurikulum baru dengan janji perbaikan mutu dan peningkatan daya saing siswa. Namun, di balik jargon-jargon perubahan itu, muncul pertanyaan yang tak kunjung reda: apakah kurikulum yang disiapkan saat ini benar-benar mempersiapkan siswa menjadi manusia unggul, atau justru menjadi kelinci percobaan dalam kebijakan yang terus berubah?
Kurikulum yang seharusnya menjadi fondasi pembelajaran, justru sering terasa seperti proyek coba-coba tanpa arah yang jelas. Perubahan mendadak dan minimnya kesiapan guru maupun infrastruktur, membuat siswa kerap menjadi pihak paling terdampak. Lantas, apakah kurikulum yang terus berganti ini benar-benar solusi, atau hanya sekadar pencitraan pendidikan?
Baca Juga: Pendidikan dalam Perspektif Islam
Jika menilik sejarah, setidaknya sudah dua belas kali kurikulum Indonesia berganti. Sayangnya, banyak di antaranya dilakukan secara terburu-buru tanpa evaluasi mendalam. Akibatnya, kebijakan pendidikan tampak tidak konsisten dan membingungkan banyak pihak. Guru dipaksa beradaptasi dengan sistem baru tanpa pelatihan memadai. Alih-alih fokus mengajar, energi mereka terkuras untuk mengurus administrasi dan memahami kurikulum yang terus berubah. Dalam kondisi seperti ini, pengajaran menjadi sekadar pemenuhan kewajiban formal, tanpa menyentuh esensi dari kurikulum itu sendiri.
Siswa pun terkena imbasnya, mereka menjadi seperti kelinci percobaan dari sistem pendidikan yang berubah-ubah. Pada akhirnya, bukan generasi unggul yang tercipta, melainkan generasi yang kebingungan dan dipaksa belajar di tengah sistem yang belum matang.
Di sisi lain, orang tua juga menanggung beban. Selain harus mengeluarkan biaya tambahan untuk buku dan materi baru, mereka pun kesulitan mengikuti sistem yang terus berubah. Ketidakpastian ini menambah tekanan di lingkungan rumah, yang seharusnya menjadi tempat pendukung utama proses belajar siswa.
Baca Juga: Rahasia di Balik Sistem Pendidikan Terbaik Dunia: Finlandia
Untuk mengatasi masalah ini, perlu pelibatan semua pemangku kepentingan: guru, akademisi, orang tua, hingga siswa sendiri. Evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum sebelumnya harus dilakukan secara terbuka. Setelah itu, berikan waktu jeda untuk mempersiapkan perubahan, agar guru dan siswa bisa beradaptasi. Persiapan menyeluruh, mulai dari pelatihan guru, perbaikan infrastruktur, hingga ketersediaan bahan ajar harus menjadi prioritas.
Iswadi, dosen Universitas Esa Unggul, menegaskan bahwa agar perubahan kurikulum berjalan efektif, pemerintah harus belajar dari kesalahan masa lalu. “Konsistensi dan keberpihakan pada kebutuhan siswa harus menjadi prioritas utama,” ujarnya.
Dengan cara itu, visi pendidikan yang benar-benar membebaskan dan memanusiakan bisa terwujud.
Yuk! Zakat, infak, dan sedekah bersama LAZ Al Azhar. Hadirkan kebahagiaan dan kebermanfaatan yang lebih luas. Klik di sini.