Berbagi Kebaikan atau Mencari Pengakuan di Media Sosial?

Berbagi Kebaikan atau Mencari Pengakuan di Media Sosial?


Risdawati
11/12/2025
13 VIEWS
SHARE

Di era digital seperti sekarang, media sosial telah menjadi jendela bagi banyak orang, termasuk umat Muslim. Melalui platform ini, kita dapat berbagi cerita, emosi, kebaikan, maupun keresahan. Namun, ketika jari kita menekan tombol “bagikan”, sudahkah kita memastikan bahwa niat kita benar-benar ikhlas? Ataukah tanpa sadar kita hanya mencari pengakuan, validasi, atau sekadar perhatian dari orang lain?

Mengapa Banyak Orang Aktif Berbagi?

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada motivasi psikologis kuat di balik kebiasaan berbagi di media sosial. Menurut King University Online, salah satu alasan orang posting di media sosial adalah karena “social and emotional influences played an important role in media sharing behavior.” Dengan kata lain, manusia terdorong untuk berbagi demi interaksi sosial untuk merasa terhubung, diterima, atau diakui.

Riset lain pada pengguna Instagram juga menemukan bahwa “like”, komentar, dan interaksi positif dapat meningkatkan harga diri (self-esteem). Tidak heran banyak orang merasa senang ketika postingannya mendapat respons. Namun, sisi gelapnya adalah ketergantungan pada validasi, perbandingan sosial, dan penurunan kesejahteraan mental.

Dampak Perbandingan Sosial dan Validasi

Perbandingan sosial dapat membawa implikasi psikologis. Penelitian dalam Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi menemukan bahwa remaja pengguna media sosial cenderung mengalami penurunan self-esteem ketika membandingkan dirinya dengan unggahan orang lain. Rasa syukur (gratitude) terbukti membantu meredam dampak negatif ini.

Sebaliknya, interaksi negatif seperti komentar buruk atau kritik keras juga dapat memengaruhi suasana hati, meningkatkan kecemasan, dan membuat seseorang merasa tidak diterima.

Dalam Perspektif Islam: Selektif dan Ikhlas

Sebagai seorang Muslim, kita diajarkan untuk menjaga niat dan menyeleksi apa yang kita ucapkan atau lakukan. Rasulullah saw bersabda:

“Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi)

Hadis ini mengingatkan bahwa tidak semua hal layak dibagikan, meskipun terlihat sepele atau modern. Jika niat kita berbagi adalah untuk mendapatkan pujian atau perhatian, maka kita telah kehilangan esensi keikhlasan. Teladan para salaf juga menunjukkan betapa mulianya amal yang disembunyikan demi menjaga hati tetap murni karena Allah Swt.

Media Sosial: Bisa Bernilai Ibadah, Jika Niat dan Tujuannya Tepat

Media sosial pada dasarnya bukan sesuatu yang buruk. Ia bisa menjadi sarana dakwah, berbagi ilmu, menginspirasi, mengajak kepada kebaikan, serta berbagi sedekah. Namun, semuanya kembali pada niat dan kesadaran.

Sebelum membagikan sesuatu, tanyakan pada diri sendiri:

“Apakah postingan ini bermanfaat untuk orang lain?”

“Apakah tujuanku semata karena Allah Swt (ikhlas), atau mencari pujian manusia?”

Lalu “Jika tidak ada respon atau like, apakah hatiku tetap tenang?”

Jika jawabannya ikhlas, maka tak perlu ragu. Tetapi bila ada sedikit pun kecenderungan berbagi karena ingin dilihat, diakui, atau divalidasi maka layak untuk direnungkan kembali.

Di tengah gemerlap dunia digital yang dipenuhi angka “like” dan komentar, Islam mengajak kita untuk memurnikan niat. Tampilkan kebaikan dengan rendah hati, atau bahkan sembunyikan jika itu lebih menjaga ketulusan. Sebab yang paling penting bukanlah pandangan manusia, tetapi keridaan Allah Swt. Semoga kita termasuk orang yang berbuat baik bukan demi popularitas, tetapi demi akhirat.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA