Ketika Popularitas Jadi Jalan Kejatuhan

Ketika Popularitas Jadi Jalan Kejatuhan


Risdawati
28/10/2025
281 VIEWS
SHARE

Kita hidup di era ketika popularitas terasa seperti anugerah, kekayaan dianggap tanda keberhasilan, dan viral menjadi cita-cita. Namun, pernahkah kita merenung, bisa jadi semua itu bukan karunia, melainkan bentuk istidraj?”

Dalam ajaran Islam, istidraj adalah pemberian nikmat dari Allah Swt kepada seseorang yang gemar bermaksiat atau lalai dari ibadah. Nikmat itu tampak seperti keberuntungan, padahal sejatinya ujian yang menjerumuskan. Seseorang yang terbuai dalam istidraj menikmati kemudahan duniawi tanpa sadar bahwa nikmat itu dapat menjadi jalan menuju kehancuran spiritual.

Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-An-am ayat 44:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44).

Istidraj bekerja dengan cara halus, membuat manusia terlena oleh kenikmatan hingga lupa arah kebenaran. Mereka merasa diberkahi, padahal sedang diuji. Seperti seseorang yang terus diberi kemudahan dalam hidup, meski langkahnya menjauh dari ketaatan. 

Fenomena seperti itu kini semakin mudah ditemui. Di era modern, bentuk istidraj tidak selalu berupa harta atau kekuasaan, tetapi juga hadir dalam bentuk popularitas, validasi digital, dan pujian manusia yang membuat lupa pada sumber segala nikmat. Begitulah istidraj bekerja, halus, memanjakan, tapi perlahan menjauhkan.

Menyadari bahayanya adalah langkah pertama untuk kembali pada kesadaran spiritual, sebelum kita mengambil tindakan agar terhindar dari istidraj. Cara untuk terhindar dari istidraj adalah dengan senantiasa mengingat Allah Swt. Melalui ibadah dan memperbanyak zikir, seseorang akan senantiasa dilindungi dari ujian yang menyesatkan, termasuk istidraj. Selain itu, berbuat baik kepada sesama, berusaha memperbaiki diri, dan tetap bersyukur atas setiap keadaan juga menjadi kunci agar hati tidak lalai dalam kenikmatan.

Sebab, kenikmatan sejati bukan diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa dekat kita dengan Sang Pemberi.

Perasaan kamu tentang artikel ini?

BACA JUGA