Ada yang lahir lengkap, tapi tumbuh dengan hati yang kosong. Ada juga yang lahir dengan kehilangan, tapi tumbuh dengan jiwa yang penuh cahaya. Fachriza Abiyusha (11), akrab disapa Abi adalah salah satunya. Tinggal di Kedung Badak, kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat. Menginjak usia dua tahun, dunia mengguratkan duka paling dalam; Ayahnya pergi. Bukan karena lupa pulang, tapi karena waktu tak lagi mengizinkan.
Abi tak pernah mengingat wajah sang ayah, tak tahu seperti apa suara yang dulu memanggil namanya untuk pertama kali. Ia hanya tahu, ada seorang perempuan yang setiap pagi sibuk mengikatkan doa ke dalam kantong plastik dagangannya.
Ibu, perempuan tangguh yang menjual jajanan kaki lima di teras depan rumah. Sederhana, tapi penuh perjuangan demi hidupnya terus berlanjut. Ibu Abi tak hanya mencari nafkah, tapi juga menjaga cahaya. Setiap subuh, saat dunia masih setengah terjaga, ia menyisihkan uang receh untuk bersedekah.
”Ibu jualan es, seblak, makaroni, dan jajanan lainnya,” tutur Abi.
Abi tumbuh dengan mata yang jernih. Wajahnya sering diliputi senyum yang tenang. Akhlaknya lembut, ucapannya penuh hormat. Di tengah waktu bermainnya, ia siapkan tenaga untuk membantu sang ibu berjualan. Sederhana, tapi tidak semua anak kecil bisa.
“Kalau besar nanti, aku ingin jadi ustaz,” katanya penuh harap.
Cita-cita mulia ini yang membuat Al-Qur’an senantiasa terjaga dalam hatinya. Setiap ayat menyimpan harap, juga menitipkan doa kepada yang telah tiada. Abi, belajar giat di Pengajian Yatim Nurunnisa yang diasuh Ibu Dalfa Malia Bahar, mitra dari LAZ Al Azhar melalui program My Heart for Yatim. Di sinilah pendidikan karakter terbentuk, rutin mengaji setiap Senin, Kamis, dan Jumat, serta mulai menghafal Al-Qur’an dengan suntikan semangat dari orang-orang di sekitarnya.
Abi mungkin kehilangan sosok yang semestinya menuntunnya dari belakang. Tapi justru karena itulah, ia belajar menatap ke depan lebih dalam. Dunia tak selalu memberikan yang lengkap, tapi Tuhan selalu menitipkan ”cukup” bagi mereka yang tetap percaya. Abi kehilangan ayah, tapi tidak kehilangan arah. Ia tidak hidup dalam keluhan, tapi dalam keteladanan. Ia tidak hanya menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, tapi juga menjadikannya pijakan dalam menjalani kehidupan.